Tawakkul Karman, Jurnalis Perempuan Pejuang Perdamaian

Tawakkul Karman Tawakkul Karman

Muslimahdaily - Akses pendidikan yang belum merata terutama bagi perempuan serta kerapnya penindasan dan kekerasan terhadap perempuan, membuat Tawakkul Karman tidak tinggal diam. Perempuan berdarah Yaman tersebut vokal akan hak-hak perempuan yang terjadi di negaranya. Dia pun pernah dinobatkan sebagai wanita Arab pertama yang meraih Nobel Perdamaian, sekaligus juga yang termuda pada usianya yang masih 32 tahun. 

“Ibu Revolusi” atau “Wanita Besi” begitu julukan yang akrab dilekatkan pada Tawakkul. Perempuan kelahiran Februari, 1979 tersebut berjuang untuk kebebasan pers dan terutama perempuan di tempat kelahirannya. Dia mendirikan Women Journalists Without Chain (WJWC) sebagai kontribusinya memperjuangkan kebebasan pers di Yaman.   

Bersama ketujuh rekan perempuan sesama jurnalis, melalui organisasi tersebut, Tawakkul membela masyarakat Yaman dari penindasan, pendidikan yang minim, pemerintahan korup serta kemiskinan melalui liputan dan tulisan-tulisannya. Dia mengaku, kerap mendapatkan ancaman dan godaan dari pihak-pihak yang tidak menyukainya. 

“Organisasi ini bertujuan untuk melindungi para jurnalis terutama perempuan supaya mendapat legalitas dari pemerintah saat bertugas. Karena banyak dari jurnalis perempuan di sini yang diperlakukan tidak adil,” katanya seperti dilansir The Washington Post. 

Organisasi tersebut juga didirikan atas dasar keprihatainan Tawakkul akan nasib Pers di Yaman. “Dengan organisasi ini berharap kualitas dan kemampuan jurnalisitik di Yaman lebih baik,” ujarnya. 

Melalui organisasi tersebut setidaknya mereka mendokumentasikan berbagai kasus serangan kekerasan dan penahanan terhadap jurnalis serta penulis. “Nama awal organisasi ini sebenarnya “Female Reporter Without Border”, tapi terpaksa diganti agar mendapat izin dari pemerintah,” ungkanya. 

Selama bertahun-tahun, ibu tiga anak itu memperjuangkan kebebasan mendapatkan dan menyampaikan informasi serta kebenaran. Dia kerap mengalami bagaimana pers dibuat tidak berdaya untuk memberitakan kebenaran yang ada. Pemberitaan di media masaa pun harus melalui sensor. Semua jenis publikasi yang dianggap melawan pemerintah tidak dapat terbit.  Bahkan, ancaman juga kerap dilayangkan ke keluarga Tawakkul. 

Lulusan University of Science and Technology di Sana’a tersebut juga memperjuangkan hak-hak perempuan. Hampir 70 persen perempuan di Yaman pada saat itu tidak mengenyam pendidikan dan dianggap kelas kedua di Yaman. Kekerasan pada perempuan dianggap hal biasa. 

Melihat ketidakadilan tersebut, Tawakkul memobilisasi masyarakat untuk melawan. Setiap minggunya Tawakkul bersama masyarakat melakukan protes terhadap pemerintah di lapangan Thahir, Sana’a. hal tersebut berlangsung hingga 2011. Sikap protesnya tersebut mendapat banyak sambutan dan dukungan bahkan menginspirasi pula negara-negara Arab bagian lain seperti Libya, Mesir dan Syiria. Hampir sebagian besar, dukungan tersebut datang dari pihak perempuan. 

Perjuangan Tawakkul membuahkan hasil. Dunia akhirnya menaruh simpati pada apa yang dilakukannya. Pada Desember 2011, dia meraih gelar Nobel Perdamaian di Norwegia. 

“Saya tidak menyangkanya. Ini sebuah kejutan. Kemenangan ini seluruhnya untuk negeri Arab dan sekitarnya dan tentu saja kemenangan untuk para perempuan Arab. Saya persembahkan penghargaan ini untuk semua pemuda dan para perempuan di negeri Arab. Kita tidak bisa membangun negara kita tanpa kedamaian,”paparnya. 

Setelah penghargaan tersebut, Tawakkul meminta Doha Centre untuk membuat televise dan stasiun radio yang diberi nama Bilqis dan atas penghormatannya kepada ratu Sheba. Media tersebut juga ditujukan untuk mendukung para jurnalis perempuan di Yaman dan menjadikan mereka lebih baik.  

Tawakkul kini juga kerap dijadikan sebagai pembicara dalam berbagai kesempatan. Misalnya, di kampus Elizabethtown College dan mendiskusikan soal revolusi Arab, perempuan dan persamaan hak. 

Leave a Comment