×

Peringatan

JUser: :_load: Tidak dapat memuat pengguna denga ID: 12351

Kisah Duka di Balik Surat Luqman

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - “Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-ku dan kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku lah kalian akan kembali,” (QS. Luqman 14).

Ayat ini memiliki asbabun nuzul sebuah kisah seorang shahabat Rasulullah yang mengalami kesedihan dan duka mendalam. Ia harus memilih antara berbakti kepada ibunya ataukah memilih berislam. Ialah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu.

Sa’ad, yang merupakan sabiqunal awalun memilih berislam ketika semua orang masih di dalam kekafiran, kecuali dua tiga orang saja. Ia masih sangat belia kala itu, usianya baru menginjak 17 tahun. Namun sebuah mimpi mengantarkannya pada Islam.

“Tiga hari sebelum masuk Islam, aku bermimpi. Seolah-olah dalam mimpi itu aku tenggelam dalam kegelapan yang sangat pekat. Saat berjalan di tengah kegelapan dan derasnya ombak, tiba-tiba aku melihat rembulan. Aku ikuti rembulan itu dan aku melihat beberapa orang yang telah mendahuluiku. Mereka antara lain Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakr Ash Shiddiq,” kisah Sa’ad.

Keislman sudah sangat mantap di hati Sa’ad. Sang utusan Allah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pula sangat ia cintai dari lubuk hati. Ia bahagia dan tenang di atas jalan yang benar, shiratal mustaqim.

Namun kebahagiaannya itu segera sirna begitu mendapati sang ibunda tercinta menentang keislamannya. Sang ibu menolak keras dan tak rela jika Sa’ad mengikuti ajaran Muhammad. Sementara Sa’ad terkenal sebagai pemuda yang sangat berbakti, bahkan sebelum agama Islam datang. Ia pula masih memiliki bakti yang sama ketika telah berislam.

Sang ibunda, ketika mengetahui putranya memeluk Islam, ia dilanda amarah yang dahsyat. Ia begitu murka hingga wajahnya merah. Dipanggillah putranya untuk melepas agama Allah, “Wahai Sa’ad, agama apa yang engkau peluk hingga engkau rela meninggalkan agama ayah dan ibumu?!” ujarnya. Sa’ad hanya terdiam. Meski sang ibunda kafir, bukan berarti ia terlapas dari kewajiban berbakti.

“Demi Tuhan, kalau engkau tidak meninggalkan agama barumu itu maka aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati! Hingga lubuk hatimu akan dipenuhi kesedihan dan kepiluan. Lalu Engkau akan menyesali perbuatanmu. Orang-orang pun akan mencela dan menghina dirimu selamanya!” demikian sang ibunda mengancam keras hingga membuat Sa’ad begitu sedih. Ia ingin terus berbakti, namun ia tak akan pernah meninggalkan agama Islam yang lurus.

“Jangan engkau lakukan itu, wahai ibu. Sungguh aku tak akan meninggalkan agamaku dengan sebab apapun itu,” jawab Sa’ad berusaha mencegah ibunda.

Namun ternyata sang ibunda bersikeras dan begitu murka. Ia pun kemudian mogok makan dan minum hingga beberapa hari lamanya. Bahkan tubuhnya menjadi lemah dan penyakitan karena mogok makan tersebut. Sa’ad pun begitu dilanda kedukaan yang teramat sangat.

Namun bukannya pergi dari rumah, Sa’ad justru selalu berbuat baik pada ibunda. Ia selalu menemui sang ibu untuk membujuknya makan dan minum. Namun berkali-kali pula Sa’ad ditolak. Ibunda Sa’ad begitu keras kepala dan enggan makan meski sesuap dan enggan minum meski seteguk.

“Wahai ibuku, sungguh aku sangat sayang dan cinta kepadamu. Sebagaimana rasa sayang dan cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, kalau engkau memiliki seribu nyawa, lalu nyawa itu dicabut satu per satu dari tubuhmu, sungguh aku tak akan pernah meninggalkan agamaku,” ujar Sa’ad, air mata ditahannya dengan sekuat tenaga.

Kata-kata Sa’ad tersebut menunjukkan begitu teguh pendiriannya di atas Islam. Mendengarnya dan melihat keteguhan putranya, sang ibunda pun menyerah. Ia kemudian bersedia untuk makan dan minum. Sa’ad pun begitu bahagia. Namun ia akan lebih bahagia jika sang ibunda dapat merasakan nikmatnya Islam. Hanya saja, keinginan itu rupanya belum dapat terlaksana. Meski demikian, Sa’ad tetap menjalankan kewajibannya sebagai anak. Ia pula berbuat baik dan bersikap santun kepada ibu bapaknya meski keduanya belum mendapat pancaran hidayah.

Setelah terjadinya cobaan Sa’ad atas ibunya ini, kemudian Allah menurunkan sebuah ayat kepada Rasulullah. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS. Luqman ayat 15).

Demikian kisah Sa’ad bin Abi Waqqash, seorang pemuda yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia pula mendapatkan cahaya Islam dan menjadi pejuang Islam. Ia pula telah meninggalkan kisah sangat berharga mengenai birrul walidain. Semoga kita mendapatkan pelajaran berharga dari beliau radhiyallahu anhu.

Leave a Comment