×

Peringatan

JUser: :_load: Tidak dapat memuat pengguna denga ID: 12341

JUser: :_load: Tidak dapat memuat pengguna denga ID: 12351

Sang Gubernur Merakyat, Umair bin Sa’ad

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - Era kekhalifahan Umar bin Khattab terkenal dengan masa kezuhudan para pemimpin Islam. Sang khalifah memilih gubernur-gubernurnya dari kalangan shahabat ataupun tabi’in yang hidup sangat sederhana. Salah satunya yakni Umair bin Sa’ad.

Umair bin Sa’ad dipercaya Khalifah kedua untuk mengemban amanah sebagai gubernur Hims. Wilayah tersebut berada di Suriah bagian barat. Saat ini kita mengenalnya sebagai Provinsi Homs. Ibu kotanya, Homs merupakan kota yang dijuluki kotanya Khalid bin Walid.

Dikisahkan bahwa selama setahun memimpin Hims, Umair bin Sa’ad tak pernah mengirimkan kabar negeri yang dipimpinnya kepada Khalifah Umar bin Khattab. Ia bahkan tak pernah sekalipun mengirimkan pajak Hims untuk Baitul Mal yang berpusat di Madinah.

Umar pun merasa heran dan khawatir gubernurnya mengalami masalah, atau bahkan dugaan buruknya, ia telah berkhianat. Maka sang khalifah Ar Rasyidin pun menulis sebuah surat untuk Umair. Isi suratnya, “Jika engkau telah menerima suratku ini, maka segeralah menghadap dengan membawa pajak kaum muslimin, segera begitu kau menerima surat ini.”

Begitu surat itu sampai di tangan Umair, ia pun segera pergi menuju Madinah tanpa menunda. Yang ia bawa hanyalah bekal seadanya berupa kantong kulit yang berisi sedikit makanan serta wadah untuk minum dan berwudhu. Kantong itu dibawanya di bahu ditambah sebuah tongkat besi di tangannya.

Yang lebih mengherankan, Umair pergi tanpa kendaraan melainkan dengan berjalan kaki. Bayangkan betapa jauhnya jarak yang ia tempuh dengan kedua kakinya. Hims yang berada di Suriah, berlokasi di wilayah Arab Utara. Sungguh jarak yang sangat jauh menuju Madinah di Jazirah Arab.

Setelah beberapa lamanya, tibalah Umair bin Sa’ad di Kota Madinah. Wajahnya sangat pucat karena kekurangan bekal makanan. Tubuhnya lemah dan kurus kering. Rambut dan jenggotnya memanjang dan tak terawat akibat lamanya waktu perjalanan yang ia tempuh. Penampilannya sangat kusut. Alih-alih berpenampilan gubernur, seseorang mungkin akan mengiranya sebagai musafir miskin.

Umair segera menghadap Umar begitu tiba di kota nabi. Ia mengucapkan salam kepada sang khalifah, “Assalamu’alaikum wahai Amirul Mukminin,” ujarnya. Umar terkejut melihatnya. Setelah menjawab salam, pertanyaan yang diajukannya ialah, “Bagaimana kabarmu wahai Umair?”

“Sebagaimana yang Anda lihat, badanku sehat, darahku suci dan aku membawa kebaikan dunia,” ujarnya. Umar pun bertanya, “Apa yang kau bawa?”

“Aku membawa kantong kulit yang menjadi tasku untuk menaruh bekal, wadah besar yang aku gunakan untuk makan serta tempat air saat mandi, beberapa lembar pakaian dan air untuk berwudhu dan minum, juga sebuah tongkat untuk menjaga diri dari Muslih seandainya bertemu di jalan. Tidak ada barang dunia yang kumiliki kecuali yang kubawa bersamaku,” jawab Umair bin Sa’ad.

Khalifah Umar pun masih dalam keterkejutannya ketika mendapati gubernurnya tak membawa hewan tunggangan. “Kau kemari dengan berjalan kaki?” tanya beliau Radhiyallahu ‘anhu. “Ya,” jawab Umair.

“Apakah tak ada yang memberi kendaraan kepadamu untuk ditunggangi?” tanya Umair lagi.

“Mereka tak memberiku karena aku tak memintanya,” jawab Umair.

Umair pun merasa gubernurnya itu telah didzalimi. Pasalnya, sudah menjadi hak Umair untuk mendapat fasilitas sebuah hewan tunggangan sebagai kendaraan dari uang pemerintahan. Sang khalifah kemudian berkata, “Sungguh mereka adalah seburuk-buruknya muslimin.”

Umair pun menimpali dengan pembelaan pada warganya, “Sesungguhnya Allah melarang berghibah. Aku senantiasa melihat mereka menunaikan shalat Shubuh.”

Umar pun mulai takjub dengan kezuhudan gubernurnya itu. Ia kemudian menanyakan perihal pajak yang tak pernah dikirimkannya ke Madinah. “Lalu dimana setoran pajak Hims untuk Baitul Mal?” tanyanya.

“Saya tak membawa apapun. Saat tiba di Hims, saya mengumpulkan orang-orang shalih di antara warga dan memerintahkan mereka untuk mengumpulkan pajak. Setiap kali terkumpul harta pajak, saya bermusyawarah kepada mereka kemanakah harta ini akan digunakan dan dibagikan kepada yang berhak menerimanya,” jawab Umair.

Umar pun bangga memiliki gubernur yang sangat amanah seperti Umair bin Sa’ad. Ia kemudian memintanya kembali menjadi gubernur Hims. Namun ternyata Umair bin Sa’ad menolak kembali menerima jabatan tersebut.

“Maafkan saya wahai khalifah, mulai saat ini saya izin untuk tidak lagi bekerja untuk pemerintahan Anda ataupun pemerintahan khalifah sesudah Anda,” jawaban Umair tentu membuat sang khalifah sangat sedih. Namun Umar haruslah menghormati keputusannya.

Ternyata selepas mundur dari jabatan gubernur, Umair bin Sa’ad tinggal bersama keluarganya di pinggiran kota Madinah. Ia hidup dengan amat sangat sederhana. Hingga kemudian ia menemui ajal. Saat mendengar kematian Umair, khalifah Umar begitu berduka.

“Saya membutuhkan orang-orang seperti Umair bin Sa’ad untuk mengurus urusan muslimin,” tutur Umar bin Khaththab.

Last modified on Selasa, 07 Maret 2017 07:51

Leave a Comment