Ketika Nabi Adam Berdebat dengan Nabi Musa

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - Nabi Adam dan Nabi Musa pernah bertemu. Bukan bertemu di dunia, karena jarak era keduanya tentulah amat sangat jauh. Saat berjumpa, ternyata terjadi perdebatan antara dua nabi tersebut.

Bermula ketika Nabi Musa menyampaikan kekecewaannya, dan mungkin juga kekecewaan umat manusia. Yakni tentang diturunkannya Nabi Adam dari surga ke bumi. Karena Nabi Adam dan Hawa memakan buah terlarang, mereka diusir dari surga dan tinggal di bumi. Juga seluruh anak keturunannya, yakni seluruh manusia.

Kepada Nabi Adam, Nabi Musa berkata, “Wahai Adam, engkau adalah bapak kami, tetapi engkau telah mengecewakan kami. Karena kesalahanmu telah mengeluarkanmu dari surga.”

Nabi Musa bukanlah mencela Nabi Adam atas dosanya. Sang Nabi dari negeri Kinanah tersebut tahu betul bahwasanya Nabi Adam telah memohon ampun dan bertaubat. Beliau ‘alaihissalam pun tahu bahwasanya Allah sudah mengampuni sang bapak manusia. Sementara orang yang bertaubat dianggap telah bersih dari dosanya.

Lalu mengapa Nabi Musa berkata demikian? Sang kalimatullah hanyalah mencela Adam atas musibah. Karena itulah jawaban Nabi Adam pun sangat sesuai, yakni mengaitkannya dengan takdir. Beliau ‘Alaihissalam berkata,

“Wahai Musa, engkau dipilih dan dimuliakan Allah, dan karena kehendak-Nya, engkau dapat berbicara dengan-Nya. Lalu (mengapa) engkau mencelaku atas perkara yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan?!”

Nabi Adam tak membantah dengan menyebut dosa-dosa Nabi Musa. Menyebut bahwa Nabi Musa pernah membunuh, misalnya. Nabi Adam pula tak membela diri bahwasanya ia telah bertaubat dan Allah menerima taubatnya. Sang manusia pertama tak membantah tentang dosa karena Nabi Musa pun tak mencela karena dosa, melainkan musibah.

Musibah pastilah dijawab dengan takdir. Nabi Musa menghujat dengan musibah, Nabi Adam menjawabnya dengan takdir. Maka, jawaban Nabi Adam pun tak terpatahkan dan tak mampu dibantah oleh Nabi Musa. Demikianlah perdebatan itu pun berakhir.

Perdebatan Nabi Adam dan Nabi Musa dikisahkan langsung oleh lisan Rasulullah. Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Nabi Adam dan Nabi Musa ‘Alaihissalam pernah berbantah-bantahan.

Nabi Musa berkata kepadanya, ‘Engkau Adam yang kesalahanmu telah mengeluarkanmu dari Surga?’ Nabi Adam menjawab kepadanya, ‘Engkau Musa yang dipilih oleh Allah dengan risalah-Nya dan berbicara secara langsung dengan-Nya, kemudian engkau mencelaku atas suatu perkara yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan?’

(Rasulullah lalu berkata) Demikianlah Adam membantah Musa, demikianlah Adam membantah Musa, demikianlah Adam membantah Musa.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Menjadikan Takdir sebagai Alasan

Kisah perdebatan Nabi Adam dan Nabi Musa memiliki hikmah besar tentang bagaimana memaknai takdir Allah. Kapan seseorang boleh menjadikan takdir sebagai alasan perbuatannya?

Dalam kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar dijelaskan bahwa “Apa saja musibah yang telah ditakdirkan, maka wajib pasrah kepadanya, karena hal itu merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Adapun perbuatan dosa, maka tidak boleh seorang pun melakukan perbuatan dosa. Seandainya pun ia melakukan suatu dosa, maka ia harus beristighfar dan bertaubat. Jadi, ia (harus) bertaubat dari perbuatan aib dan bersabar terhadap musibah.”

Jadi, seseorang boleh beralasan takdir atas perbuatan yang dilakukannya jika ia telah bertaubat. Jika ditanyakan kepadanya, ‘mengapa kau melakukannya?” lalu ia menjawab, ‘karena takdir Allah’. Maka jawabannya dapat diterima.

Agar lebih memahami, berikut contoh riil. Fulan membunuh tanpa sengaja. Namun orang-orang mencelanya dan menudingnya sebagai pembunuh. Fulan pun beralasan bahwasanya itu adalah takdir Allah. Maka alasannya dapat diterima meski alasan tersebut tak melepaskannya dari hukuman.

Namun seandainya Fulan membunuh dengan sengaja, lalu ia dikecam publik atas perbuatannya. Namun Fulan membela diri dan berkata bahwasanya perbuatannya itu adalah takdir Allah. Maka alasan itu tertolak. Ia tak dapat beralasan dengan takdir Allah atas perbuatan dosa yang dilakukannya. Kecuali jika Fulan telah bertaubat dan menyesali perbuatannya.

Allahu a’lam.

Sumber: almanhaj.or.id.

Last modified on Minggu, 30 September 2018 11:17

Leave a Comment