5 Fakta Ini Membuat Aceh Mendapat Julukan Serambi Mekkah

Masjid Baiturrahman Masjid Baiturrahman

Muslimahdaily - Nangroe Aceh Darussalam, provinsi di ujung utara Pulau Sumatra yang menyimpan banyak sejarah penyebaran dan perkembangan Islam di bumi nusantara.

Pada abad ke 15 M, Aceh mencapat gelar kehormatan dari umat Islam. “Serambi Mekkah” gelar yang tersemat pada bumi Aceh ini. Gelar yang sarat akan nuansa keagamaan, keimanan dan ketakwaan.

Pastinya, sebuah gelar tak begitu saja diberikan. Sejarawan pun menganalisis faktor apa saja yang mendorong umat Islam memberi Aceh gelar “Serambi Mekkah”. Setidaknya, ada lima faktor diberikannya gelar tersebut.

Pertama, Aceh adalah daerah perdana berkembangnya Islam di Nusantara

Menurut teori Makkah, Islam telah masuk ke nusantara pada awal abad ke-7 di pantai Barat Sumatra. Ajaran Islam datang ke Nusantara dibawakan langsung oleh para wiraswastawan Arab.

Barulah pada abad ke-13 atau tepatnya pada tahun 1275 M, Kesultanan Samodra Pasai didirikan. Kesultanan menjadi awal perkembangan agama Islam. Pasai memiliki letak strategis dan menjadi kawasan perdagangan sekaligus perkembangan dakwah agama Islam.

Kesultanan Samodra Pasai yang dikenal pula dengan Samudera Darussalam merupakan kerajaan Islam yang menempati sebagian besar wilayah Nangroe Aceh Darussalam meliputi Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara.

Kesultanan ini tak berdiri lama, pada 1521 Pasai takluk oleh Portugal. Pasai pun bergabung dengan Kesultanan Aceh yang telah didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Shyah pada 1496.

Baik Kesultanan Samodra Pasai maupun Kesultanan Aceh, keduanya memiliki paham agama yang sama, mayoritas penduduknya adalah ahlus sunnah wal jamaah. Menurut Ibnu Batutah, saat beliau mengunjungi Pasai pada 1345 M dan bertemu dengan Sultan Mahmud Malik az-Zahir, beliau disambut dengan ramah dan menyaksikan bahwa penduduk disana menganut Mazhab Syafi’i dalam bidang fiqh.

Kedua, Baiturrahman sebagai pusat pendidikan

Pasti kita semua tahu tentang Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang tetap berdiri kokoh saat gelombang tsunami berkecepatan 40 km/jam menggulung Tanah Rencong.

Masjid Raya pertama kali dibangun pada tahun 1292 M oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah dengan menampilkan arsitektur khas Aceh.

Masjid Raya Baiturrahman dahulu tak hanya menjadi pusat peribadatan tapi juga pusat pendidikan. Masjid Raya Baiturrahman atau dahulu dikenal dengan Darr Baiturrahman menyediakan berbagai jenjang pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi.

Pendidikan tingkat tinggi di Daar Baiturrahman berdiri layaknya universitas modern. Terdapat 17 fakultas diantaranya Fakultas Ilmu Tafsir dan Hadis, Fakultas Hukum, Fakultas Kedokteran dan lainnya.

Pusat pendidikan tersebut memiliki tenaga pengajar yang kompeten. Pengajar-pengajar tersebut tak hanya dari Aceh, tapi juga didatangkan langsung dari Arab, Turki, Persia dan India.

Pada 1873, pusat peribadatan dan pendidikan tersebut harus menampah fungsi bangunannya. Agresi Belanda menjadikan Baiturrahman benteng pertahanan rakyat Aceh. Perang sengit pun terjadi di Masjid ini. Para pejuang Aceh masih kokoh mempertahankan keutuhan Baiturrahman.

Pada 1874 atau agresi kedua, pasukan Aceh yang dipimpin oleh Tuanku Hasyim Banta Muda dan Tuanku Imam Lueng Bata gagal mempertahankan masjid ini.

Belanda berhasil merebut benteng pertahanan Aceh. Aksi yang dilakukan pada 6 Januari 1874 ini dipimpin oleh Van Swieten. Mereka menembakkan suar ke atap jerami masjid ini hingga bangunan terbakar.

Demi melancarkan maksud politik dan merebut hati rakyat Aceh, Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah dibakar dan dirusak. Rancangan masjid tersebut diserahkan pada arsitek Bruins dari Department van Burgelijk Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum di Batavia dan bekerja sama dengan beberapa insinyur lainnya.

Pembangunan ulang masjid tersebut juga menggaet oleh seorang penghulu besar dari Garut. Cara ini dilakukan agar desain masjid yang akan dibangun sesuai dengan aturan Islam.

Dalam prosesnya, pembangunan ulang Masjid Raya menghadapi kendala. Kendala tersulit adalah minimnya pekerja dikarenakan rakyat Aceh yang enggan bekerja pada proyek Belanda. Belanda akhirnya mengimpor tenaga kerja dari Cina.

Pengerjaan proyek tersebut juga terkendala oleh kontraktor. Para kontraktor Jawa tidak mau bergabung dalam proyek tersebut karena Perang Aceh sedang berkecamuk. Untungnya, masih ada seorang kontraktor bernama Lie A Sie, Letnan Cina di Aceh. Ia memperoleh borongan untuk pembangunan masjid dan mengimpor bahan-bahan bangunan dari luar negeri.

Pada tahun 1879, pembangunan ulang Masjid Raya Baiturrahman dimulai. Tengku Qadhi Malikul Adil meletakkan batu pertamanya. Ia pun menjadi imam pertama di Masjid yang baru.

Pada 27 Desember 1882, pembangunan masjid ini selesai. Awalnya, rakyat Aceh enggan beribadah di masjid ini karena dibangun oleh Belanda. Tapi, seiring berjalannya waktu, tempat ini kembali menjadi pusat peribadatan bahkan kebanggaan rakyat Aceh.

Ketiga, Aceh sebagai pelindung Islam

Dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, Aceh telah mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer yang baik. Kesultanan itu teguh menentang imperialisme Eropa.

Sistem pemerintahan yang diterapkan selalu dikaji dan diperbaiki sehingga menghasilkan pemerintahan yang teratur. Kesultanan Aceh pun mengedepankan pendidikan dan melancarkan hubungan diplomatik dengan negara lain.

Oleh karenanya, Kesultanan Aceh Darussalam mendapat pengakuan dari Syarif Mekkah atas nama Khilafah Islam yang direstui oleh Turki sebagai “pelindung kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara” karena apik dalam menjaga stabilitan dan kondusivitas Islam di Nusantara.

Keempat, pelabuhan transit untuk haji

Letak geografis membuat Aceh menjadi pusat transit dalam pelaksanaan ibadah haji. Kaum muslimin nusantara yang yang akan pergi haji pasti akan menapaki Tanah Rencong ini sebelum mengarungi Samudra Hindia. Karena letaknya yang strategis, pelabuhan di Aceh menjadi lokasi transit strategis.

Perkampungan di Aceh banyak disinggahi oleh jamah haji. Hal ini menjadikan suasana haji terbawa ke Aceh dan momen ini dirasakan setiap tahunnya.

Kelima, adanya kemiripan budaya

Letak strategis Aceh tentunya berdampak pada pertukaran budaya yang ada di dalamnya. Tah heran, jika budaya yang ada di Aceh memiliki banyak kesamaan dengan Bangsa Arab. Baik rakyat Aceh maupun bangsa Arab, keduanya mayoritas beragama Islam dengan mazhab Syafi’i.

Gaya berpakaian hingga hiburan yang ada di Aceh pun mengalami arabisasi. Penerapan hukum jinayat menjadikan Aceh layaknya Makkah di Nusantara.

Gelar “Serambi Mekkah” menjadikan Aceh terkenal kental dengan ajaran Islam hingga kini. Terlebih saat tsunami besar melanda Tanah Recong tersebut. Syariat Islam semakin ditegakkan. Kita semua pun berharap agar tidak ada oknum yang mencederai kesakralan yang Islam yang telah dijaga sejak dulu.

Last modified on Senin, 11 Februari 2019 05:58

Leave a Comment