×

Peringatan

JUser: :_load: Tidak dapat memuat pengguna denga ID: 1112

Kapan Saja Waktu Diperbolehkan Membatalkan Shalat?

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - Kabar duka gempa Lombok diwarnai viralnya sebuah video jama’ah masjid yang tak membatalkan shalat saat gempa terjadi. Dari video tersebut kemudian muncul perdebatan di media sosial mengenai bolehkah membatalkan shalat saat terjadi gempa? Lantas muncul pula pertanyaan, dalam kondisi seperti apa saja kita diperbolehkan membatalkan shalat?

Pada dasarnya, seseorang tidaklah diperbolehkan membatalkan shalat begitu ia memulainya. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33).

Hanya saja, ada beberapa udzur yang diberikan kepada muslimin untuk membatalkan shalat dalam kondisi tertentu. Berikut beberapa kondisi yang membolehkan seseorang untuk membatalkan shalatnya.

1. Kekhawatiran terhadap diri sendiri

Yakni nyawanya terancam jika terus melanjutkan shalat. Jika terjadi demikian, maka diperbolehkan membatalkan ibadah shalat. Hal ini dijelaskan dalam Ar Raudhah Bahiyah, “Haram membatalkan shalat wajib secara sengaja, karena adanya larangan membatalkan amal yang harus diselesaikan. Selain yang dikecualikan dalil, atau tidak ada pilihan selain membatalkannya karena kondisi darurat, seperti menyelamatkan jiwa dari bahaya atau ancaman.”

Selain itu, terdapat kaidah umum fiqh yang menyatakan bahwa menghindari mafsadah lebih didahulukan daripada mengambil maslahat. Melakukan shalat merupakan maslahat, namun jika terjadi bahaya, seperti ada hewan buas, terjadi gempa ataupun musibah lain, maka seseorang hendaknya menghindarinya dengan membatalkan shalat. Menghindari bahaya lebih didahulukan daripada meraih maslahat shalat.

Islam juga mewajibkan untuk menyelamatkan nyawa. Rasulullah bahkan melarang seseorang berdiam diri di tempat bahaya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

2. Menyelamatkan orang lain

Selain menyelamatkan diri sendiri, menyelamatkan orang lain juga menjadi kondisi yang dapat membatalkan shalat. Cukup banyak fatwa ulama dari beragam mazhab fiqh yang menjelaskannya. Di antaranya yakni ulama hanafiyyah, Hasan bin Ammar Al Mishri. Ia menyebutkan dalam Nurul Idhah wa Najat al-Arwah,

“Penjelasan tentang apa saja yang mewajibkan orang untuk membatalkan shalat dan apa yang membolehkannya… Wajib membatalkan shalat ketika ada orang dalam kondisi darurat meminta pertolongan kepada orang yang shalat.”

Ulama syafi’iyyah, Al Izz bin Abdus Salam dalam “Qawaid Al Ahkam” juga menyebutkan tentang menyelamatkan orang yang tenggelam namun harus membatalkan shalat. Beliau menjelaskan bahwasanya menyelamatkan nyawa orang lebih afdhal di sisi Allah dibandingkan mengerjakan shalat.

“Di samping menggabungkan kedua maslahat ini sangat mungkin, yaitu orang yang tenggelam diselamatkan dulu, kemudian shalatnya diqadha.”

Fatwa yang sama juga datang dari ulama Hambali, Al Buhuti. Ia menjelaskan dalam Kasyaf Al Qi’na, bahwa menyelamatkan orang lain bersifat mendesak sementara shalat memiliki keluasan untuk diqadha. Karena itulah wajib menyelamatkan orang meski harus membatalkan shalat.

“Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa meskipun shalatnya sah.”

3. Kekhawatiran terhadap keselamatan harta

Hal ini dijelaskan dalam kitab fiqh kontemporer, Roddul Mukhtar Ala Ad Durrul Mukhtar atau Hasyiyah Ibnu Abidin, bahwa ada beberapa keadaan di mana seseorang dapat membatalkan shalat. Salah satunya yakni kekhawatiran terhadap keselamatan harta.

Sebagai contoh, seseorang sedang menunaikan shalat namun tiba-tiba ada pencuri yang hendak mengambil barangnya berisi harta. Maka dalam kondisi demikian, ia boleh membatalkan shalat dan menyelamatkan hartanya.

4. Terkait kekhusyuan

Masih dalam Hasyiyah Ibnu Abidin, terdapat pula kondisi di mana seorang mukmin dianjurkan membatalkan shalat, misalnya karena keinginan untuk buang angin. Hal ini disimpulkan bahwa keinginan buang hajat yang merusak kekhusyukan dapat menjadi uzur seseorang untuk membatalkan shalat.

5. Tangisan anak

Tangisan anak sering kali merusak konsentrasi seorang ibu saat shalat. Dalam situasi demikian, seseorang boleh membatalkan shalat saat mendengar tangisan bayi. Namun perlu dilihat terlebih dahulu jenis tangisan tersebut. Berikut penjelasannya dalam Fatwa Islam,

“Jika ada anak yang menangis, dan tidak memungkinkan untuk didiamkan orang tuanya ketika shalat jamaah, maka boleh bagi orang tuanya membatalkan shalat untuk mendiamkan anaknya, karena dikhawatirkan tangisan itu disebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya, serta dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyuan shalatnya.”

Demikian beberapa kondisi yang memperbolehkan seseorang untuk membatalkan shalat. Namun yang perlu dipahami yakni shalat yang dimaksud ialah shalat wajib. Adapun shalat sunnah, maka lebih banyak kelonggaran untuk melakukannya. Sebagaimana Fatwa Ibnu Baz,

“Jika itu shalat sunah, aturannya lebih longgar. Boleh saja orang membatalkannya, ketika ada orang yang mengetuk pintu. Sedangkan shalat wajib, tidak boleh dibatalkan kecuali jika di sana ada kejadian sangat penting, yang dikhawatirkan kesempatannya hilang jika tidak segera ditangani.”

Waallahu a’lam wa rasuluhu a’lam.

Sumber: konsultasisyariah.com

Leave a Comment