Bagaimana Hukum Menggunakan Barang Palsu ?

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - Penggunaan barang imitasi atau yang sering disebut ‘KW’ sudah menjadi rahasia umum bagi mereka yang ingin terlihat berkelas tanpa perlu merogoh kocek terlalu dalam.

Virus barang palsu yang tak henti-hentinya ini memaksa Ditjen HKI untuk mengatur tindak pidana mengenai penggunaan dan jual beli barang palsu dalam Pasal 90 – Pasal 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Kendati demikian, rantai penyebaran barang-barang tersebut justru kian makmur dan nampaknya sulit dihentikan. Lalu, adakah pandangan hukum fiqh mengenai penggunaan barang bajakan tersebut?

Sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa suatu barang bisa diperjualbelikan boleh diperjualbelikan jika barang itu halal penggunaannya, dapat diserahterimakan, dapat diambil manfaatnya, tidak ada gharar dan barang tersebut sepenuhnya milik penjual.

Jika merujuk pada syarat-syarat diatas, otomatis barang KW sudah memenuhi syarat dibolehkannya suatu barang untuk diperjualbelikan. Namun dewasa ini, kita telah mengenal hak kekayaan intelektual yang mana belum sempat dibahas dalam fiqh klasik.

Meski begitu, formula-furmula yang ada pada fiqh klasik menjadi bekal bagi para ulama fiqh kontemporer untuk meracik fatwa yang sesuai dengan keadaan setempat dan perkembagan zaman.

Mengenai penggunaan atau jual beli barang bajakan, Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami juz 7 halaman 103 menyebutkan, “Nama dagang, label, merek dagang, karangan, proposal, penemuan adalah hak-hak yang spesifik bagi pemiliknya dan telah memiliki nilai komersil yang diakui karena publik menganggapnya demikian. Hak yang semacam ini diakui oleh syariat dan tidak boleh dilanggar.”

Senada dengan penyampaian Dr. Wahbah Zuhaili, Lembaga Fatwa Mesir, Darul Ifta Al-Mishriyyah melansir keterangan mengenai plagiasi atau penggunaan barang bajakan pada 5 Maret 2015.

“Hak karya tulis dan karya-karya kreatif dilindungi oleh syariat. Pemiliknya memiliki hak pendayagunaan karya-karya tersebut. Siapapun tidak boleh berlaku zalim terhadap hak mereka. Berdasarkan pendapat ini, kejahatan plagiasi terhadap hak intelektual dan hak merk dagang yang terdaftar dengan cara mengakui karya tersebut di hadapan publik, merupakan tindakan yang diharamkan syara’. Kasus ini masuk dalam larangan dusta, pemalsuan, penggelapan. Pada kasus ini, terdapat praktik penelantaran terhadap hak orang lain; dan praktik memakan harta orang lain dengan cara batil.”

Dari kedua informasi diatas dapat kita simpulkan bahwa menggunakan barang tiruan adalah kegiatan yang tidak diperbolehkan baik menurut aturan negara ataupun dalam fiqh. Jual beli barang KW memang sah, namun bisa jadi haram apabila menimbulkan madarat bagi pemilik hak paten barang tersebut ataupun pemilik asli tidak ridha atas jual beli barang tiruan.

Jika pemilik hak paten sudah ridha atau kita tidak tau perihal kepalsuan barang yang kita beli, maka keraman atas barang tersebut hilang.

Leave a Comment