Mengenal Ghulul dan Dosa Penyelewengan Dana dalam Al-Qur'an

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - Saat ini, kita sudah sangat familiar dengan berita kasus korupsi yang seperti merajalela dimana-mana. Pelaku korupsi identik dengan seseorang yang menyalahgunakan jabatannya, dan kini korupsi bahkan tidak lagi mengenal kelas dan strata. Praktik korupsi sudah menjalar mulai dari level menteri, sampai kepada level kepala desa maupun tingkat pemerintahan yang lebih rendah.

Islam menghormati kepemilikan individu atas harta, dengan mengharamkan orang lain mengambil dari sisinya secara tidak sah. Islam memberikan prinsip dan aturan yang jelas bagi manusia bahwa dalam memperoleh harta, harus melalui cara yang halal dan tidak boleh saling merugikan. Di antara cara yang dilarang dalam usaha memperoleh harta ialah melalui penggelapan harta yang dalam terminologi Islam disebut dengan ghulul, dan kasus korupsi pejabat termasuk contoh ghulul.

Ghulul sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Arab yang juga memiliki makna ‘khianat’. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi saat ini menunjukkan moral pejabat yang melakukan penyimpangan ketika mengemban suatu amanah, di sisi lain juga menunjukkan betapa kompleksnya arti sebuah khianat.

Praktik ghulul pun memang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Oleh karena itu, kita dapat mempelajari ayat-ayat dalam Al Qur’an yang mengatur transaksi ekonomi. Kita akan menemukannya secara mayoritas pada ayat-ayat Madaniyah, karena firman Allah subhanahu wa ta’ala mengenai proses muamalah banyak diturunkan di Madinah.

Harus kita ketahui, para Nabi dan Rasul merupakan utusan Allah yang suci. Apabila turun firman Allah tentang perilaku khianat, sesungguhnya firman tersebut bukan untuk Nabi dan Rasul, namun ditujukkan untuk umat Nabi.

Pada zaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, sudah banyak praktik ghulul yang dilakukan oleh sahabat atau orang-orang di sekitar Rasul yang diberi sebuah jabatan (misal pegawai penjaga perbekalan perang, pengumpul zakat, dll). Di zaman sekarang, sebutannya adalah pejabat publik.

Melalui surat An- Nisâ’[4]: 29, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba hambaNya yang beriman agar tidak melakukan praktik-praktik yang diharamkan dalam memperoleh harta, namun harus melalui perdagangan yang disyariatkan dan berdasarkan kerelaan antara penjual dan pembeli.

Sementara pada At-Taubah [9]: 34, diceritakan bahwa agama Islam datang untuk berangsur-angsur mengikis habis perilaku sosial masyarakat Madinah saat itu, yaitu ketika pemuka agama kaum Yahudi dan ahli ibadah kaum Nasrani memanfaatkan berbagai jabatan mereka untuk mengeruk keuntungan pribadi. Padahal pemuka agama memiliki tugas untuk melayani umat, bukan mengeksploitasi.

Menggelapkan harta akan menghalangi seseorang masuk surga, sebagaimana dinyatakan dalam  Ali ‘Imrân[3]: 161. Di akhirat kelak, pelaku ghulul digambarkan dengan keadaan seseorang yang sedang menahan berat di punggungnya.

Penggelapan harta bisa terjadi karena adanya sifat rakus dan tamak terhadap harta. Secara manusiawi sebenarnya hal ini adalah wajar, dalam arti manusia sebagai makhluk yang memiliki nafsu duniawi memang memiliki potensi ke arah itu. Bila merujuk sanksi yang telah diberikan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam terhadap pelaku penggelapan harta, maka akan didapati beberapa macam sanksi.

Yang pertama, Rasulullah pernah tidak menshalati jenazah seseorang yang dalam hidupnya pernah melakukan praktik ghulul. Ini berarti Rasulullah sallallahu alaihi wasallam sangat tidak bersimpati dan tidak mau mendoakan untuk pengampunan dan keselamatannya. Pada saat itu, jenis sanksi sosial ini merupakan jenis sanksi yang terberat.

Yang kedua, kejahatannya dipublikasikan. Hal yang paling ditakutkan oleh pelaku ghulul adalah ketika kebusukannya diketahui masyarakat umum.

Yang ketiga, menolak harta yang diberikan oleh pelaku ghulul. Seperti yang kita temukan juga dalam kehidupan saat ini, pelaku ghulul suka tampil baik dan dermawan setelah melakukan kejahatan, dengan menyumbangkan hartanya untuk pembangunan masjid, yatim piatu, dll. Dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa Rasulullah menolak pemberian zakat dari seseorang yang melakukan ghulul.

Yang keempat, pelaku ghulul diwajibkan mengembalikan barang/harta yang ia gelapkan. Apabila sudah rusak atau catat, maka dikembalikan dengan barang yang harganya serupa.

Di Indonesia, praktik ghulul sudah merajalela hampir di semua sektor kehidupan. Apabila diamati, pelaku ghulul seolah-olah tidak merasa jera walaupun sudah dipenjara beberapa tahun. Dalam memberantas praktek dengan dampak negatif yang signifikan terhadap keberlangsungan suatu negara ini, Al Qur’an menunjukkan perlunya langkah yang besar dan sistematis.

Langkah pertama ialah pembangunan moral dan karakter masyarakat melalui jalur pendidikan. Ghulul dapat terjadi karena pandangan masyarakat terhadap harta. Itulah mengapa Islam datang untuk meluruskan dan mengendalikan naluriah manusia agar tidak menjadikan harta sebagai tujuan hidup. Dalam Islam kita diajarkan bahwa kenikmatan yang abadi hanya ada di surga nanti, dan bahwasannya seluruh kepemilikan harta adalah mutlak di bawah kekuasaan Allah.

Langkah kedua adalah membekali takwa kepada aparat negara yang memiliki kekuasaan. Ditanamkan kepada mereka untuk tidak berbuat curang. Pada langkah ini, sangat diperlukan pula keteladanan seorang pemimpin.

Langkah ketiga adalah melakukan audit rutin terhadap harta kekayaan para pejabat. Dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa Rasulullah membuat daftar kekayaan dari seorang amil zakat sebelum dan sesudah menjabat. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik yang kemudian terbukti efektif mencegah aparat melakukan kecurangan, karena ketika ditemukan peningkatan harta yang tidak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal.

Langkah keempat adalah membuat sistem birokrasi yang baik dan penggajian yang layak. Kadangkala beban tugas yang berat namun tidak disertai penerimaan finansial yang mencukupi mengakibatkan seorang mencari jalan lain untuk menutupi kekurangan finansialnya. Maka dalam sebuah hadits, secara jelas Rasulullah menyebutkan tentang pemenuhan kebutuhan pegawai yang diangkat.

Langkah kelima adalah larangan menerima hadiah bagi pejabat, dan langkah terakhir adalah mengangkat pegawai yang amanah dan kredibel di bidangnya. Dalam proses awal perekrutan pegawai, selayaknya hanya dipilih dan diangkat orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya, dan takut pada Allah subhanahu wa ta’ala.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kita dapat mempelajari segala sesuatunya berdasarkan Al Qur’an dan hadits, termasuk tentang fenomena ghulul atau penggelapan harta yang telah ada sejak dahulu. Perilaku ini sangat merugikan masyarakat banyak bahkan kepentingan negara, juga dapat dikategorikan ke dalam perbuatan kerusakan di muka bumi (fasad) yang sangat dikutuk Allah subhanahu wa ta’ala. Karenanya diperlukan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan sedini mungkin.

Langkah paling mudah yang dapat kita lakukan adalah menumbuhkan rasa syukur dan menanamkan kejujuran dalam diri kita, kemudian menyebarkannya kepada orang-orang di sekitar kita. Tak lupa, yang paling penting adalah untuk selalu merasa takut dan tunduk kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Last modified on Selasa, 05 Juli 2022 15:27

Leave a Comment