Boleh Merias Tangan dengan Hena, Tapi...

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - Menghalangi wudhu, demikian alasan yang melarang muslimah menggunakan kutek untuk mewarnai dan mempercantik kuku. Hena pun hadir menjadi alternatif riasan tangan tanpa kutek. Berbahan daun pacar atau inai, hena bersifat tak menahan aliran air saat berwudhu. Meski demikian, benarkah halal hukumnya merias tangan dengan hena?

Dalam buku kumpulan fatwa bertajuk “Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Maratil Muslimah”, disebutkan bahwa inai disarankan penggunaannya bagi para wanita yang telah menikah. Ada beberapa dalil yang menunjukkan dibolehkannya merias tangan dan kaki dengan inai, atau di masa kini dikenal dengan hena.

Di antara yang membolehkan yakni hadits yang dikabarkan Aisyah, Beliau radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan bahwa ada seorang wanita yang menyodorkan kitab kepada Rasulullah dari balik tabir. Melihatnya, Rasulullah pun menahan tangan beliau dan berkata, “Saya tidak tahu, ini tangan pria atau tangan wanita (karena tak mengenakan inai)?” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Hadits lain yang juga masih dari Aisyah, beliau pernah ditanya seorang wanita muslimah tentang hukum menggunakan inai. Ummul Mukminin pun menjawab, “Boleh, akan tetapi aku tak menyukainya dan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam tak menyukai baunya,” (HR. Abu Dawud dan An Nasa’i). 

Dari hadits tersebut diketahui bahwa Rasulullah membolehkan penggunaan hena meski beliau tak menyukai aromanya. Pun demikian dengan Aisyah. Meski Aisyah tak menyukainya, bukan berarti hena menjadi haram bagi muslimah lain. Dua hadits tersebut pun menjadi dalil kuat akan kebolehan penggunaan hena.

Akan tetapi, kebolehan tersebut memiliki dua ketentuan sebagaimana dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb. Apa saja ketentuan tersebut? Yang pertama yakni hena dikhususkan bagi wanita berstatus menikah. Seperti dalam hadits di atas dan yang dilakukan para shahabiyah di masa lalu, hena biasa dilakukan oleh para wanita yang telah menjadi istri. Lalu, apakah wanita belum menikah tak boleh memakainya? Tak disebutkan larangannya dalam buku fatwa tersebut.

Hanya saja, di masa shahabiyyah, kebiasaan penggunaan inai tak dilakukan oleh para gadis. Hal tersebut menimbang inai ataupun hena yang memiliki tujuan sebagai perhiasan. Maka hanyalah wanita menikah yang memiliki tujuan berhias di hadapan suami dengan menggunakan hena. Bukan sesuatu yang layak jika wanita single bertujuan ingin berhias di hadapan pria non mahram, bukan?

Masih berkaitan dengan hal di atas, ada ketentuan kedua perihal penggunaan hena oleh para muslimah. Masih dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, bahwa jika seorang wanita menggunakan hena, maka ia harus menutupinya saat di depan publik.

Artinya, ia tak menampakkannya di hadapan pria non mahram. “Wajib kita ketahui bahwa hena termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh wanita di tempat selain yang Allah izinkan untuk ditampakkan. Artinya, tidak boleh ditampakkan di depan lelaki yang bukan mahram. Jika dia butuh berangkat ke pasar, dia harus memakai kaos kaki, jika kakinya menggunakan hena.

Demikian pula untuk telapak tangan. Harus dia tutupi,” fatwa Syekh Shalih Al Utsaimin dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, dikutip dari laman konsultasisyariah. Jika dua ketentuan tersebut dipenuhi, maka suatu hal disenangi jika muslimah menggunakan hena untuk memperindah punggung maupun jemari tangan dan kaki.

Apalagi saat ini cukup banyak penata rias wanita yang melayani pelukisan hena dengan beragam gaya. Adakah wanita yang tak tertarik dengan keindahan hena? Coba gunakan hena yuk, eits, tapi harus ingat dengan dua ketentuan di atas ya.

Last modified on Selasa, 22 November 2016 11:09

Leave a Comment