Cemburu Itu Wajar, Dalam Batasan Ini

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - Cemburu merupakan hal lumrah yang dirasakan setiap wanita. Bahkan istri-istri nabi sekali pun pernah merasakan cemburu. Hanya saja, ada batasan tertentu yang perlu diperhatikan agar tak melampaui batasan syariat.

Rasa cemburu pada dasarnya adalah tabiat para wanita. Maka seorang suami hendaklah memahaminya dan tak menyalahkan sikap istri yang tengah cemburu. Ada pepatah mengatakan, cemburu tanda cinta. Mungkin itu ada benarnya.

Menjadi hal yang baik jika seorang istri cemburu saat melihat suaminya berdekatan dengan wanita non mahram, cemburu saat suami mengurangi haknya, cemburu saat suami berteman dekat dengan wanita lain yang bukan mahram atau bahkan cemburu saat suami melebihkan madunya. Pun cemburu yang baik bahkan disyariatkan saat wanita melihat suaminya berbuat maksiat dan zalim.

Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari, wanita memanglah diciptakan dengan sifat cemburu. Namun jika cemburu tersebut melampaui batas, maka akan menjadi satu hal yang tercela. 

Cemburu yang melampaui batas yakni perasaan yang diliputi prasangka dan curiga. Dengannya istri menuduh suami tanpa bukti nyata. Jika terjadi demikian, maka cemburu tersebut sudah melampaui batas tabiat dan bukan lagi sifat yang memang naluriah dimiliki wanita.

Cemburu yang melampaui batas dapat menyebabkan kemudharatan yang besar. Pasalnya, istri yang cemburu biasanya akan selelu bersuudzon pada suaminya. Selain itu, ia juga dapat memfitnah wanita lain yang tak melakukan kesalahan. 

Ghibah pun tak luput keluar dari lisan wanita yang terbakar api cemburu. Hal ini jelas dilarang di dalam syariat. Dengannya, seorang suami wajib memberi peringatan kepada istrinya yang telah melampaui batas kecemburuannya.

Ada banyak kisah dari rumah tangga Rasulullah yang dapat diambil hikmahnya, termasuk dalam perkara cemburu. Istri-istri Rasulullah juga wanita yang tentu diciptakan memiliki tabiat cemburu. Jika cemburu mereka wajar, maka Rasulullah akan diam. Adapun jika cemburu itu telah melampaui batas, maka Rasulullah akan menasihati istri beliau Shallallahu’alaihi wa sallam.

Suatu hari Aisyah merasa cemburu dengan Khadijah karena Rasulullah selalu menyanjung istri pertamanya tersebut. Maka Aisyah pun berkata kepada nabi, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah!”

Rasulullah pun kemudian menjawab, “Khadijah begini dan begitu (menyebut kebaikan dan keutamaannya) dan aku mendapatkan anak darinya.” (HR. Al Bukhari). Rasulullah  menjawabnya tanpa amarah apalagi menghukum Aisyah. Hal itu dikarenakan kecemburuan Aisyah hanyalah tabiat yang dimiliki wanita, sehingga Rasulullah memakluminya.

Dalam hadits yang lain, seorang istri Rasulullah, Hafshah merasa cemburu pada istri Rasulullah yang lain, Shafiyyah. Hafshah pun kemudian mencela Shafiyyah dengan mengatakan ia adalah putri Yahudi.

Rasulullah kemudian mendapati Shafiyyah tengah menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyyah pun menjawab, “Hafshah telah mencelaku dengan mengatakan bahwa aku adalah putri Yahudi.”

Rasulullah kemudian menenangkan Shafiyyah dengan bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi dan engkau adalah istri seorang nabi. Lalu bagaimana ia membanggakan dirinya kepadamu?!”

Selepas itu, Rasulullah kemudian mendatangi Hafshah dan menasihatinya, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah.” (HR. An Nasa’i)

Di kasus kali ini, Rasulullah memberi peringatan kepada istrinya Hafshah yang cemburu pada Shafiyyah hingga mencelanya. Karenanya Rasulullah perlu menasihati Hafshah agar menjaga lisannya dari mencela. Hafshah pun segera bertaubat dan meminta maaf atas kekeliruannya.

Masih banyak kisah lain tentang bagaimana istri-istri Rasulullah saling cemburu. Tanpa mengurangi keutamaan para ummul mukmin, kisah-kisah mereka rhadiyallahu ‘anhunna menjadi pelajaran tentang batasan rasa cemburu.Cemburu adalah tabiat wanita, namun jangan sampai cemburu menjadi bara api yang memicu sifat buruk lalu membakar keharmonisan rumah tangga.

Leave a Comment