Joanna Palani, Sniper Wanita yang Kepalanya Dihargai Mahal oleh ISIS

Ilustrasi Ilustrasi (Tempo.co)

Muslimahdaily - Joanna Palani, seorang gadis berkebangsaan Denmark pernah meninggalkan kehidupan yang tenang dan bangku kuliahnya demi memanggul senjata dan menumpas krisis ISIS di Suriah. Tak tanggung-tanggung, gadis yang kini berusia 23 tahun tersebut berprofesi sebagai seorang sniper atau penembak runduk dengan ketepatan tembak yang tak kalah dengan sniper pria.


Joanna Palani, semangatnya berkobar untuk menegakkan Hak Asasi Manusia di tengah kecamuk perang di Timur Tengah, ISIS dan Suriah. Saat wanita-wanita yang seusia dengannya sibuk memikirkan masa depan gemilang dengan menjalani kesehariannya yang tenteram, Joanna Palani merasa terpanggil terjun ke medan perang.


Latar Belakang Joanna Palani
Joanna Palani adalah seorang gadis berdarah Kurdistan-Denmark. Ia pernah mengalami kesengsaraan hidup sebagai pengungsi, menyaksikan bagaimana perjuangan keluarga dalam mempertahankan kehidupan, dan hari-hari buruk masa kecil tersebut menjadikannya seorang wanita berkarakter berbeda dengan wanita yang lain.


Dikutip dari Tribunnews, pada usia empat tahun Joanna Palani sempat diungsikan ke Denmark demi penghidupan dan pendidikan yang lebih baik. Pada usia sembilan tahun, keinginannya untuk belajar menembak tak dapat ditampik oleh kakeknya.


Joanna merasa darahnya mendidih melihat berita tentang perlakukan buruk dari anggota kelompok ISIS terhadap anak-anak dan perempuan. Oleh karena itu, Joanna yang saat itu duduk di bangku kuliah di Copenhagen memutuskan untuk pergi ke Irak dan bergabung dengan batalyon YPG, Angkatan Bersenjata Pemerintah Regional Kurdistan.


Joanna Palani, Sniper Wanita yang Ditakuti Militan ISIS
Pada malam pertama ketika ia bertugas, ia harus tegar menyaksikan rekan snipernya terbunuh di depan matanya ketika tanpa sengaja pejuang ISIS melihat asap rokok rekan prianya tersebut. Namun hal itu tidak menciutkan niat mulia Joanna Palani dalam menegakkan HAM, kebebasan anak-anak, dan wanita yang menjadi budak seks mereka.


ISIS yang menjadi organisasi Islam radikal meyakini bahwa memperkosa wanita non-Muslim hukumnya sah dan halal. Bagaimana mungkin tindakan aniaya dan tidak adil kepada sesama bahkan kepada bukan pemeluk Islam dibenarkan menurut agama. Tindakan ISIS yang membawa-bawa nama Islam ini menuai reaksi keras dari dunia dan Islam itu sendiri.


Kehadiran sang sniper wanita di pihak pemerintah Al-Assad Suriah, Joanna Palani, mampu menjadi propaganda ganas yang melemahkan mental ISIS. Sehingga, pihak ISIS mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Joanna atau bahkan membunuhnya akan diganjar 1 juta dollar atau setara dengan 13 milyar.


Prestasi Joanna Palani tak hanya isapan jempol belaka, pasalnya selama masa baktinya selama satu tahun bergabung dengan tentara Kurdistan di Irak, ia telah menembak lebih dari 100 kepala anggota militan ISIS. Joanna mengungkapkan bahwa tentara ISIS itu sangat mudah untuk dibunuh.
“Militan ISIS sangat baik dalam hal mengorbankan nyawa mereka sendiri, tapi tentara Al-Assad dilatih dengan sangat baik dan mereka juga mesin pembunuh yang ahli,” ungkapnya saat diwawancarai Vice.


Berbekal senapan SVD Dragunov dan Kalashnikov kesayangannya, Joanna beroperasi pada malam hari dengan pakaian kamuflasenya, teropong termal, granat, dan cemilan pengganjal perut. Menjadi prajurit di garis depan dengan lebih besar resiko terbunuh tak membuat nyali gadis berambut blonde ini bergeming.


Sebagian darahnya mengalir darah Kurdi. Orang Kurdi terkenal berani, kuat, dan gagah seperti tampak dalam diri Joanna yang menorehkan prestasi sebagai sniper. Ditambah kepiluan masa kecilnya membuatnya tak urung mengobarkan semangat juang bagi suku Kurdi yang tertindas.


Joanna sering mendapat surat dari gadis dan anak-anak yang usianya dibawahnya dengan menceritakan siksaan dan pemerkosaan dari anggota ISIS. Dari mereka tahu bahwa ISIS menghalalkan tindakan keji dengan mengatasnamakan agama.


Tak hanya mengajari para perempuan Kurdi menjadi petarung, Joanna juga mengajari mereka bagaimana menggunakan senjata untuk menembak. Sehingga kedekatan Joanna dengan rekan petarung dan gadis-gadis korban pelecehan seksual membuatnya sedih ketika ia harus berpisah.


Sekembalinya Joanna Palani di Denmark
Usai ia bertugas dan pulang ke Denmark, paspor Palani harus disita oleh pihak kepolisian Denmark yang mengatakan bahwa paspornya sudah tidak berlaku lagi. Jika Palani bertekad untuk kembali ke Suriah, ia harus menjalani hukuman kurang lebih 6 tahun penjara sesuai peraturan perundang-undangan yang baru.


Akhirnya sesuai putusan Mahkamah Copenhagen City, Palani harus mendekam di penjara Denmark selama 6 bulan karena menyalahi UU yang melarang warganya terlibat dalam pertempuran asing. Hal ini dilakukan pemerintah dalam usaha untuk memperketat anti-ekstremisme dalam negara tersebut.
Meskipun hal tersebut harus ia terima, Palani mengaku tetap ingin menjunjung demokrasi dan kebebasan wanita dalam hak asasinya.

Last modified on Senin, 05 Jun 2017 08:46

Leave a Comment