Muslimahdaily - Sebuah pernikahan berlangsung sederhana di Kota Madinah, di era Rasulullah. Pernikahan antara dua Sahabat nabi dari suku Aus, yakni Hadhalah dan Jamilah. Jika semua kebahagiaan di dunia ini dikumpulkan, mungkin tak lebih besar dari kebahagiaan keduanya di hari itu.
Baik Handhalah dan Jamilah diliputi rasa cinta tak terkira. Begitu akad sah, keduanya dipertemukan kali pertama. Bertemulah dua cinta sejati lagi murni. Menyempurnakan separuh agama dengan saling mencintai, beribadah dengan saling mencumbu, berjanji akan saling setia hingga mati.
Namun takdir telah mencatat dengan cerita cinta berbeda. Sebesar-besarnya cinta manusia, harus ada cinta yang lebih besar, yakni cinta kepada Allah dan Rasulullah. Handhalah dan Jamilah pun diuji dengan cinta hakiki tersebut.
Baru saja merasakan manisnya pernikahan, terdengar seruan untuk perang bersama Rasulullah. Muslimin diminta untuk membela agama, menjadi pasukan Rasulullah, membuktikan cinta mereka kepada Allah.
Handhalah pun bangkit dengan iman yang kuat. Namun sebongkah hatinya begitu berat meninggalkan istri tercinta yang baru saja ia nikahi. Bahkan pernikahan tersebut baru saja terjadi dan keduanya masih diliputi cinta yang begitu bergelora.
Meski demikian, cinta keduanya tak melebihi cinta kepada Allah dan Rasulullah. Handhalah tetap bergegas menyambut seruan jihad, sementara Jamilah mendukung suaminya dengan merelakan Handhalah pergi. Berat sudah pasti. Namun cukup pelukan dan air mata saja yang mewakili.
Karena terburu-buru, Handhalah tak sempat mandi junub. Ia bergegas untuk bergabung dengan pasukan dan menyusul Rasulullah ke Bukit Uhud. Ia pun bertempur di perang yang tercatat kelam dalam sejarah Islam. Ialah Perang Uhud yang menghasilkan kekalahan di pihak muslimin karena sebagian pasukan tergiur harta ghanimah.
Begitu banyak muslimin yang syahid di perang tersebut. Salah satunya ialah Handhalah. Allahu akbar! Sang pengantin baru harus menemui ajal di hari pernikahannya.
Sementara itu di Kota Madinah, Jamilah menunggu dengan sabar. Ia pun kelelahan hingga tertidur. Dalam tidurnya, Jamilah memimpikan kekasihnya tercinta.
Ia melihat Handhalah menuju langit kemudian dibukakan langit untuknya. Setelah suaminya naik, langit itu tertutup kembali. Jamilah begitu bahagia melihatnya. Namun ia kemudian menjadi gusar karena awan mendung berdatangan dan membuat hatinya yang tegar menjadi penakut dalam sekejap.
Jamilah terbangun. Tak ada firasat tentang kematian sang suami dari mimpi tersebut. Justru ia menyangka tafsir mimpi tersebut merupakan tanda akan adanya fitnah dalam rumah tangganya. Jamilah justru mengumpulkan saksi pernikahannya dan meminta mereka untuk mengabarkan kepada masyarakat bahwa ia dan Handhalah telah menikah.
Ia tak tahu, bahwa suaminya telah diangkat para malaikat. Tak terbesit dalam benaknya, suaminya akan pergi selama-lamanya. Tak terpikirkan olehnya bahwa muslimin akan kalah dalam perang dan meninggalkan banyak syahid. Jamilah tak pernah menduga bahwa ia akan menjanda di hari pernikahannya.
Jenazah Handhalah telah terbujur kaku bersimbah darah. Ketika perang usai, Rasulullah mendapati jenazah tersebut. Ada hal menakjubkan terjadi. Handhalah meninggal di atas tanah yang darinya menetes air. Rasulullah kemudian bersabda, “Sesungguhnya para malaikat tengah memandikannya.”
Para shahabat pun mengabarkan kepada Rasululah bahwa Handhalah baru saja menikah dan ia pergi berperang dalam keadaan junub. Masya Allah, karena itulah jenazah Handhalah dimandikan oleh malaikat. Padahal para mujahid biasa dikubur tanpa dimandikan dan dikafani. Namun Handhalah dimandikan oleh malaikat karena pernikahannya sebelum perang.
Sejak itu, Handhalah tak hanya dijuluki mujahid, namun disebut pula sebagai “Ghasilul Malaikah” yakni orang yang dimandikan oleh malaikat. Sementara Jamilah, ia menerima takdir pahit kematian suaminya. Meski berstatus janda, Jamilah bersabar dan bangga berstatus istri mujahid, istri sang Ghasilul Malaikah. Semoga Allah meridhai Handhalah dan Jamilah, menyatukan keduanya kembali di surga-Nya.