Muslimahdaily - Agama Hindu memang menjadi mayoritas di Bali, tetapi putri mahkota seorang raja di Bali justru memilih menjadi mualaf.
Putri mahkota itu adalah anak Raja Pemecutan Denpasar yang bernama Gusti Ayu Made Rai. Dia memiliki paras cantik hingga menjadi kembang kerajaan.
Parasnya ini membuat para pembesar kerajaan Bali berlomba-lomba untuk memikat hati sang putri. Namun, akhirnya Gusti Ayu Made Rai menjatuhkan hatinya kepada Raja Bangkalan Madura bernama Pangeran Cakraningrat IV.
Setelah resmi menikah, Pangeran dan Putri kembali ke Bangkalan. Pernikahan mereka juga dilakukan secara Islam, Gusti Ayu Made Rai menjadi mualaf.
"Beliau menikah dengan Raja Bangkalan Madura yang bernama Pangeran Cakraningrat IV," kata Pak Mangku, seperti dikutip dari kanal YouTube Islam Trending TV, Jumat (24/12/2021).
Usai memeluk Islam, Gusti Ayu Made Rai pun mengganti namanya menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Dia sangat rajin beribadah, terutama salat lima waktu.
Pangeran Cakraningrat IV berumur lebih dari 55 tahun. Sebab Raden Ayu merupakan istri keempat Pangeran Cakraningrat IV.
Suatu saat Raden Ayu meminta izin untuk pulang ke Bali karena merindukan Ayah dan Ibu. Kebetulan kala itu ada upacara agama yang diselenggarakan Kerajaan Pemecutan dan dimanfaatkan Raden Ayu untuk pulang ke kampung.
Suaminya mengizinkan Raden Ayu untuk pulang ke kampungnya. Selain memberi izin, Pangeran juga memberi doa dan 20 orang pengawal serta 20 dayang-dayang perempuan.
Kemudian mereka berangkat dari Bangkalan menuju Denpasar Bali. Sampai di Istana Pemecutan, Raden Ayu tidur di istana dan para pengawal beserta para dayang tidur di taman kerajaan.
Raden Ayu yang sudah menjadi muslim pun mengerjakan salat Magrib di Merajan Istana, tempat suci umat Hindu.
Kala itu semua tidak ada yang mengetahui bagaimana cara umat Islam beribadah sehingga mereka menduga Raden Ayu tengah mengeluarkan ilmu hitam.
Patih kerajaan kemudian melaporkan hal itu kepada Raja Pemecutan yang adalah Ayah dari Raden Ayu. Mendengar laporan tersebut, Ayahnya marah dan memerintahkan Raden Ayu untuk dibunuh.
Patih mengajak Raden Ayu Siti Khotijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Raden Ayu yang sudah memiliki firasat akan dibunuh lalu meninggalkan pesan bahwa kala itu ia sedang beribadah menurut Islam.
Raden Ayu juga berpesan agar tidak dibunuh dengan senjata tajam karena itu akan sia-sia.
"Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu, benang tiga warna yakni putih, merah, dan hitam," cerita Pak Mangku.
Raden Ayu meminta Patih kerajaan melemparkan cucuk kondenya ke dada kiri dan apabila tubuhnya mengeluarkan asap berbau busuk saat meninggal maka Patih boleh membuang mayatnya sembarangan.
Namun, jika asap dari tubuhnya beraroma harum maka Patih diminta membuatkan tempat suci yang disebut keramat.
Ternyata benar, begitu cucuk konde ditancapkan, tubuh Raden Ayu Siti Khotijah mengeluarkan asap dan aroma harum yang semerbak bahkan seluruh lingkungan kerajaan mengakui aroma harum itu.
Kemudian sang Ayah mengaku menyesal dengan keputusannya. Lantas jenazah Raden Ayu dimakamkan dan dibuatkan tempat suci yang disebut keramat sesuai dengan permintaannya sebelum dibunuh.
Begitu jasad Raden Ayu Siti Khotijah dimakamkan, tumbuhlah sebatang pohon dengan tinggi 50 sentimeter di tengah makamnya.
Pohon itu telah dicabut sampai tiga kali, tetapi pohon itu kerap kembali tumbuh.