Ketika Nabi Ibrahim Berdebat dengan Kaumnnya Mengenai Tuhan

ilustrasi ilustrasi

Muslimahdaily - Alkisah dahulu kala, penduduk jazirah Arab terbagi menjadi dua golongan, yakni golongan pertama memuja kuburan orang-orang shalih, mereka membuat patung dari wajah orang shalih tersebut untuk disembah. Golongan kedua penyembang patung yang menyerupai benda-benda di langit, misalnya matahari, bulan dan bintang.

Di antara mereka, hiduplah seorang pemahat patung ahli bernama Azar. Keluarga Azar amat disegani lantaran keistimewaan bakatnya yang mampu memahat secara profesional. Bakatnya ini sangat tersohor di seluruh penjuru negeri.

Azar memiliki seorang anak laki-laki benama Ibrahim. Suatu Ketika Ibrahim kecil tengah bermain-main dengan patung buatan ayahnya. Ia menduduki punggung patung Mardukh. Saat sang ayah tahu, ia segera meminta Ibrahim turun dari patung yang disebutnya sebagai tuhan itu. Karena disinggung tuhan, Ibrahim mengajukan pertanyaan kepada ayahnya.

“Ada berapa banyak tuhan itu ayah?” tanya Ibrahim penasaran.

“Tidak ada jumlahnya,” jawab sang ayah.

“Kalau aku hanya patuh pada satu tuhan saja, apakah Tuhan yang lain akan marah? Kalau tuhan yang lain marah, aku takut tuhanku akan dibunuh, lalu setelah itu aku dibunuh,” kata Ibrahim lagi.

“Jangan terlalu khawatir Ibrahim, tidak akan terjadi permusuhan sesama tuhan,” kata Azar santai.

“Dari apa tuhan-tuhan itu diciptakan?” tanya Ibrahim lagi.

“Dari kayu pelepah kurma, dari kayu zaitun. Kalau berhala kecil itu terbuat dari gading. Lihatlah, sangat indah bukan? Hanya saja patung itu tidak memiliki napas,” ujar sang ayah.

“Kalau tuhan tidak memiliki napas, artinya mereka tidak memiliki kehidupan. Bagaimana bisa tihan memberikan kehidupan jika mereka saja tidak memiliki kehidupan. Pastilah mereka bukan tuhan,” ujar Ibrahim.

Mendengar tuhannya itu diragukan, Azar spontas memarahi dan memukul Ibrahim. Tentu saja ia tidak terima tuhan yang ia agung-agungkan itu dibantah oleh anaknya sendiri.

Waktu berlalu, Nabi Ibrahim tumbuh menjadi remaja. Walau usianya sudah beranjak, keraguannya terhadap patung-patung yang disembah itu masihlah sama. Dalam pengamatannya selama bertahun-tahun, ia tak pernah melihat satupun patung makan, minum, berbicara bahkan berpindah tempat tanpa bantuan manusia.

Ketidakmampuan patung-patung itu terhadap diri mereka sendiri justru membuat manusia sujud padanya. “Bukankah sangat mengherankan?” tanyanya pada diri sendiri, “Bagaimana mungkin manusia bersujud dan berserah diri pada sesuatu yang dibuatnya sendiri?”

Ibrahim yang pada awalnya memang meragukan status tuhan pada patung-patung itu kembali berbincang pada sang ayah.

“Wahai ayah, pantaskah engkau menjadikan patung-patung itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata,” kata Nabi Ibrahim. Keraguan ini memang sudah sejak awal Allah tanamkan para Nabi Ibrahim.

“Sebenci itukan engkau pada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti akan kurajam,” ujar sang ayah geram.

Kemarahan sang ayah tak diladeni Nabi Ibrahim dengan kemarahan juga. Melainkan ia meminta ayah dan kaumnya untuk berpikir seraya memperhatikan benda-benda di langit. Matahari, bulan, dan bintang adalah bentuk yang paling sering dijadikan sebagai tuhan berhala mereka.

Ketika malam tiba, bintang-bintang mulai bermunculan. “Inilah tuhanku,” kata Nabi Ibrahim.

Lantas ketika langit mulai gelap, bintang-bintang tadi tidak lagi terlihat. “Aku tidak suka kepada yang tebenam,” ujar Nabi Ibrahim.

Tak lama kemudian bulan mulai naik ke langit gelap. Kaum Nabi Ibrahim dapat melihat terangnya cahaya bulan saat itu. “Inilah tuhanku,” seru Nabi Ibrahim.

Namun lama kelamaan bulan yang bertengger di langit dengan gagah mulai terbenam seraya langit kembali terang.

“Sungguh, jika tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang tersesat,” kata Nabi Ibrahim.

Usai itu, matahari mulai menampakkan wujudnya. “Inilah tuhanku. Ini lebih besar,” ujar Nabi Ibrahim.

Namun sama dengan bulan dan bintang, pada akhirnya matahari terbenam juga. Wujudnya hilang pada saat sore tiba.

“Wahai kaumku. Sungguh aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik," seru Nabi Ibrahim. (QS. Al An’am: 78-79).

Demikianlah cara Nabi Ibrahim mengajak kaumnya berpikir. Bagaimana mungkin tuhan yang mereka sembah kadang muncul dan kadang hilang? Atau bagaimana mungkin manusia bersujud pada sesuatu yang mereka buat sendiri, bahkan berhala-berhala itu tidak berkuasa pada dirinya sendiri.

Pada akhirnya, Nabi Ibrahim bukanlah mencari tuhan. Melainkan meyakinkan keraguannya sendiri terhadap tuhan yang disebut-sebut kaumnya pada masa itu. Karena pada dasarnya Allah memang sudah memberi petunjuk pada Nabi Ibrahim.

Allah berfirman,

“Kaumnya membantah Ibrahim. Lalu Ibrahim menyanggah, “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Al An’am: 80).

Leave a Comment