Muslimahdaily - Pemimpin adalah pembawa dan pengemban amanah rakyat, tak mudah menjadi pemimpin. Percaturan politik Indonesia saat ini menghadapi tantangan baru yang kita sebut sebagai krisis global. Krisis global ini mencerminkan kemunduran adab berpolitik yang sebenarnya.

Saat pesta demokrasi berlangsung biasanya praktik-praktik licik yang kita kenal dengan istilah serangan Fajar atau money politic nyaris selalu mewarnai kebiasaan berpolitik di Indonesia.

Money Politic, seperti disampaikan Latipah Nasution (2017), terjadi pada saat pengusungan calon yang dilakukan partai dan pada saat pencarian dukungan langsung dari rakyat. Dalam hal ini rakyat dibayar, disuap, untuk memilih calon tertentu. Dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya tidak lagi dalam kehendak bebas, kesadaran akan bangsa dan negara, maupun dalam pengendalian penuh atas dirinya.

Pemilihan pemimpin/penguasa ini penting sekali agar bisa mengatur hubungan masyarakat ke arah yang lebih menjanjikan. Disamping itu, tugas seorang pemimpin juga berat. Oleh karenanya, peran negara hadir sebagai isyarat untuk mengatur kehidupan masyarakat yang ideal untuk mewujudkan masyarakat yang harmunis, makmur dan sejahtera.

Coba kita perhatikan, setiap kali pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan, di antara sebagian calon legislatif saling unjuk program terbaiknya kepada masyarakat baik dilakukan menggunakan baleho yang dipajangkan di pinggir jalan raya maupun janji secara langsung. Tetapi hampir melupakan–untuk tidak mengatakan sama sekali tidak melakukan–janji-janjinya tersebut.

Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan tersebut bukanlah karakteristik pemimpin ideal dan bukan adab berpolitik sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. Pendidikan ideal dimaksud adalah mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang baik, bersih, jujur dan amanah. Dengan demikian, kriteria seorang pemimpin yang baik itu tidak diukur sesuai besaran “Serangan Fajar” yang dikeluarkan, akan tetapi tergantung pada kemampuannya memberikan yang terbaik bagi negaranya.

Dalam buku At-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, Imam Al-Ghazali memberikan setidaknya lima nasihat kepada para pemimpin.

Pertama, pemimpin harus mengetahui kedudukan dan pentingnya kekuatan.

Sesungguhnya kekuatan adalah sebagian nikmat dari Allah Subhanahu Wata’ala. Siapa saja yang menjalankan kekuatan dengan benar, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang tidak ada bandingannya. Siapa yang lalai dan tidak menegakkan kekuatan dengan benar, ia akan mendapat siksa karena kufur kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Kedua, selalu merindukan petuah ulama dan selalu mendengarkan nasihat mereka.

Hati-hatilah dengan ulama yang disukai dunia. Mereka akan memperdayaimu, mencari kerelaanmu untuk mendapatkan apa-apa yang ada di tanganmu berupa hal-hal buruk dan haram agar mereka mendapatkan sesuatu dengan mereka dan tipu daya.

Orang yang berilmu adalah orang yang tidak menginginkan hartamu, dan orang yang selalu memberimu wejangan serta petuah.

Ketiga, janganlah merasa puas dengan keadaanmu yang tidak pernah melakukan kezaliman.

Umar bin Khatab menulis urat kepada bawahannya, yaitu Abu Musa al-Asy’ary:

Sesungguhnya wakil yang paling bahagia adalah wakil yang paling bahagia adalah wakil yang rakyatnya merasa bahagia sesunguhnya wakil yang paling celaka adalah wakil yang rakyatnya dalam keadaan paling sengsara.”

Keempat, kebanyakan wakil memiliki sifat sombong. Salah satu bentuk kebencian yaitu bila marah, ia akan menjatuhkan hukuman.

Kemarahan adalah perkara yang membinasakan akal, musuh dan penyakit akal. Jika amarah menguasaimu, maka engkau harus ondong kepada sifat pemaaf dan kembali sifat mulia.

Dari Abu Darda’ra berkata:

Ya Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.”

Rasulullah Shallahu Alaihi Wassallam bersabda:

Jangan marah, kamu akan masuk surga.”

Kelima, sesungguhnya pada setiap kejadian yang menimpa diri anda, anda harus membayangkan bahwa anda adalah salah seorang rakyat, sementara selain diri anda adalah pemimpin.

Dengan itu, apa yang tidak kamu ridha bagi dirimu sendiri, tidak pula akan diridhai oleh salah seorang muslim.

Jika anda meridhai mereka dalam apa yang tidak anda ridhai untuk diri anda sendiri, berarti anda menipu dan menipu bawahanmu.