Muslimahdaily - Aksi damai yang dilaksanakan pada 2 Desember 2016, atau yang dikenal dengan Aksi 212 merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi seluruh umat muslim di Indonesia.

Dalam peristiwa tersebut sebagian besar umat muslim di Indonesia berbondong-bondong memadati Monas dalam rangka Aksi Super Damai tersebut. Para peserta Aksi yang tidak hanya datang dari Jakarta dan sekitarnya saja, namun dari berbagai daerah di luar Jakarta.

Aksi yang berjalan damai dan bersih ini menginspirasi Jastis Rimba dan kru untuk menjadikannya sebuah film yang berjudul “212 the Power of Love”.

“Cinta, keimanan, dan kedamaian menjadi fokus dalam film ini. Dibalik peristiwa aksi 212 sendiri terdapat kisah menarik penuh hikmah yang dialami oleh para peserta aksi. Hal itulah yang melatar belakangi film 212 the Power of Love dibuat,” tutur Jastis Rimba sutradara film 212 the Power of Love pada muslimahdaily.com.

Film ini dibuat dengan memadupadankan antara pengadeganan dan real moment, sehingga tantangan terbesar dalam membuat film ini adalah agar peristiwa penting dan feeling yang terjadi pada AKSI 212 benar-benar terasa real juga dalam film.

Selain itu juga scene yang menarik dan paling epic pada proses pembuatan film ini adalah saat adegan longmarch peserta aksi dari Ciamis-Jakarta, papar Jastis Rimba.

Hal menarik dari film 212 the Power of Love adalah ini adalah film pertama yang dibuat dengan didanai dari wakaf dan swadaya.

Selanjutnya para pemeran yang terdiri dari santri, komunitas, dan beberapa artis tanah air seperti Arie Untung, Dimas Seto, Tommy Kurniawan, Muhammad Assad, Irfan Hakim, Peggy Melati, Neno Warisman, dan Ombat Nasution yang berpartisipasi dalam film tersebut secara sukarela juga merupakan bagian dari peserta aksi damai 212.

Pesan moral yang dapat diambil dari film ini adalah cintai keluargamau, karena dengan mencintai keluarga dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap bangsa sendiri.

Selanjutnya harapan dari para kru dan pemain film 212 adalah agar masyarakat lebih objektif dalam melihat persoalan, bijaksana dalam menyikapi perbedaan, serta lemah lembut dalam saling menasihati diatas kebenaran dan kebaikan.

Film 212 bercerita tentang pergulatan batin Rahmat, seorang jurnalis media berita terkemuka, yang terjebak mengikuti long march sekelompok warga sebuah kampung di Ciamis menuju Jakarta untuk menghadiri aksi 212.

Salah satu peserta long march adalah ayahnya, seorang ulama desa yang memiliki paham berseberangan dengan Rahmat. Berbeda dengan ayahnya, Rahmat menganggap aksi 212 dan aksi-aksi sebelumnya adalah gerakan politik yang menunggangi umat Islam untuk kepentingan kekuasaan.

Sikap sinis ini tidak berubah meskipun Rahmat ikut dalam long march itu, karena harus menemani ayahnya yang sebenarnya sedang sakit. Perjalanan long march akhirnya berubah menjadi sebuah perjalanan spiritual dan nostalgia bagi Rahmat untuk berdamai dengan masa lalunya, dan dengan ayahnya. Satu persatu kejadian demi kejadian yang ditemui di perjalanan, meruntuhkan kebencian Rahmat kepada ayahnya, dan pandangannya yang skeptis terhadap Islam.