Muslimahdaily - Setiap insan, termasuk perempuan, terlahir dengan serangkaian keistimewaan yang dianugerahkan Sang Pencipta. Perempuan membawa fitrah unik, potensi yang tak terbatas. Namun, tak dapat dimungkiri, pandangan yang mengakar di sebagian masyarakat kiwari masih seringkali menyempitkan peran perempuan sebatas urusan domestik, sementara panggung kepemimpinan seolah hanya milik kaum laki-laki. Ironisnya, kungkungan pemikiran inilah yang terkadang menghambat perempuan untuk mengembangkan sayap dan memberdayakan dirinya secara penuh.

Padahal, jika kita sudi menyelami lembaran sejarah Islam, kita akan menemukan jejak langkah begitu banyak perempuan tangguh. Mereka bukan hanya berdiri setara, namun juga gemilang dalam berbagai arena, mulai dari keilmuan hingga pucuk kepemimpinan. Ini adalah bukti sahih bahwa di masa lalu, perempuan bukanlah sosok yang terbelenggu oleh bayang-bayang dominasi, melainkan pribadi yang berdaya dan berpengaruh. Salah satu mutiara dari khazanah ini adalah Ratu Arwa binti Ahmad bin Muhammad bin Ja’far bin Musa al-Sulayhi, seorang pemimpin perempuan yang namanya terukir abadi.

Arwa al-Malika: Dari Haraz Menuju Panggung Dunia

Lahir di Haraz, Yaman, pada tahun 440 Hijriah (1048 M), Arwa adalah keponakan dari Ali al-Sulayhi, tokoh sentral sekaligus pendiri Dinasti Sulayhiyah yang disegani di Yaman. Haraz sendiri, tanah tempatnya mengawali perjalanan hidup, kala itu dikenal sebagai salah satu kawah candradimuka ajaran Ismailiyah. Tak heran jika Arwa kemudian dikenal dengan berbagai julukan yang sarat makna dan kehormatan: as-Sayyidah al-Hurrah wanita pemimpin yang mulia lagi merdeka; al-Malika al-Hurrah ratu yang agung dan bebas; hingga Malikat Saba’ as-Saghirah Sang Ratu Saba Kecil, sebuah penanda betapa besar pengaruhnya.

Pesona Kepribadian dan Kedalaman Intelektual

Figur Arwa memancarkan aura kepribadian yang menginspirasi, layak menjadi cerminan bagi perempuan di setiap zaman. Ia tak hanya dikenal karena keberaniannya yang legendaris, tetapi juga sebagai pribadi yang teguh dalam ketaatan beragama, dengan karakter mandiri yang begitu kuat. Kecerdasan Arwa pun tak kalah menonjol. Ingatannya begitu tajam, khususnya akan detail peristiwa sejarah, dan pemahamannya terhadap Al-Qur'an serta hadis begitu mendalam, menjadi suluh bagi kebijakan-kebijakannya.

Cobaan hidup menempa Arwa sejak belia; ia menjadi yatim piatu di usia yang masih sangat muda. Namun, di bawah asuhan sang bibi, Asma binti Shihab, ia tumbuh menjadi perempuan yang tangguh dan luar biasa sabar. Menginjak usia 17 tahun, pada 1066 M, Arwa menikah dengan sepupunya sendiri, Ahmad al-Mukarram bin Ali bin Muhammad as-Sulayhi, sebuah pernikahan yang kelak membawanya ke gerbang takdir yang lebih besar.

Menapaki Tangga Kepemimpinan: Dari Pendamping hingga Penguasa Penuh

Takdir seolah menguji. Hanya setahun setelah pernikahannya, pada 1067 M, sang ayah mertua, Ali al-Sulayhi, berpulang ke rahmatullah. Tahta kekuasaan pun beralih ke pundak Ahmad al-Mukarram, suami Arwa. Namun, kondisi fisik Ahmad yang lumpuh membuatnya tak cukup leluasa untuk memegang kendali pemerintahan seorang diri. Dalam momen-momen krusial, termasuk saat khotbah, nama Arwa mulai disebut berdampingan dengan nama suaminya, setelah penyebutan nama Khalifah Fatimiyah, al-Mustansir Billah. Pengakuan ini berbuah manis: Khalifah menganugerahinya hak otonomi dalam pemerintahan. Arwa pun tidak sekadar mendampingi, ia aktif memerintah, sekaligus mewakili ibu mertuanya yang sebelumnya juga memiliki peran signifikan dalam kekuasaan.

Wafatnya sang ibu mertua pada tahun 1087 M menjadi titik balik penting. Arwa dengan mantap mengambil alih penuh kendali kepemimpinan. Sebagai pemimpin tertinggi, salah satu langkah strategis pertamanya adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Sana'a ke Jibla. Keputusan ini bukan tanpa alasan; Jibla memiliki posisi yang jauh lebih menguntungkan untuk menghadapi rongrongan musuh, terutama dari Najahid Sa'id bin Najar dari Zabid. Strategi brilian ini terbukti jitu. Pada tahun 1088 M, Arwa berhasil menundukkan Najahid Sa'id bin Najar. Kemenangan ini disusul dengan pembangunan istana baru yang megah di Jibla, sementara istana lama diubah fungsinya menjadi masjid agung, sebuah simbol perpaduan kuasa dan spiritualitas.

Kesetiaan dan kemandirian Arwa kembali teruji ketika suaminya wafat. Meskipun ada usulan agar ia menikah lagi dengan Saba bin Ahmad, sepupu mendiang suaminya, Arwa dengan tegas menolak. Ia memilih untuk tetap sendiri, memimpin kerajaannya seorang diri, bahkan hingga Saba bin Ahmad tiada.

Di bawah kepemimpinan Ratu Arwa, Dinasti Sulayhiyah mengalami era keemasan. Ia tak hanya piawai dalam strategi militer, tetapi juga visioner dalam pembangunan. Masjid agung di Sana’a diperluas, infrastruktur jalan dibenahi termasuk rute vital menuju Samarra. Di Jibla, selain istana yang menjadi pusat kekuasaan, ia juga mendirikan Masjid Jami' Ratu Arwa yang monumental. Tak berhenti di situ, perhatiannya pada pendidikan diwujudkan dengan pembangunan banyak sekolah, sementara sektor ekonomi dan pertanian juga turut dikembangkannya hingga mencapai kemajuan pesat.

Dimensi Spiritual Sang Ratu: Menyandang Gelar Hujjah

Kehebatan Ratu Arwa tidak hanya terbatas pada panggung politik dan kenegaraan. Dalam ranah keagamaan, ia menorehkan pencapaian luar biasa dengan menyandang gelar Hujjah. Ini bukanlah gelar sembarangan; Hujjah adalah kedudukan yang menandakan peringkat tertinggi dalam hierarki dakwah Ismailiyah pada masa itu. Kehormatan ini dianugerahkan langsung oleh Khalifah Fatimiyah sekaligus Imam Ismailiyah, al-Mustansir Billah, pada tahun 1084 M. Sebuah terobosan yang menggetarkan: untuk pertama kalinya dalam lintasan sejarah Islam, khususnya dalam tradisi Ismailiyah, seorang perempuan meraih martabat spiritual setinggi itu. Dengan otoritas keagamaan yang disandangnya, Arwa bahkan mengutus al-Da'i Ali bin Ibrahim untuk menyebarkan ajaran Islam Ismailiyah hingga ke Gujarat, India.

Senja Kala Sang Ratu dan Warisan Abadinya

Hingga hembusan napas terakhir, Ratu Arwa al-Malika mengabdikan dirinya untuk memimpin rakyat dan negerinya. Ia berpulang pada tahun 532 H (sekitar 1138 M), dan jasadnya disemayamkan dengan penuh hormat di kompleks masjid yang ia sendiri dirikan di Jibla. Makamnya, hingga detik ini, tak pernah sepi dari para peziarah, menjadi saksi bisu atas kebesaran seorang perempuan pemimpin.

Ratu Arwa al-Malika: Inspirasi Kemandirian dan Potensi Tanpa Batas

Perjalanan hidup Arwa al-Malika al-Hurra adalah cermin jernih yang mematahkan segala anggapan bahwa gender adalah penghalang bagi perempuan untuk tampil sebagai pemimpin negara yang ulung dan disegani. Jauh dari citra perempuan yang kerap digambarkan pasif atau bergantung, Arwa adalah pribadi yang berani mengambil peran, membuktikan dengan gemilang bahwa perempuan pun dikaruniai kapasitas memimpin yang mumpuni.

Namun, kehebatannya sebagai seorang penguasa tak lantas membuatnya melupakan fitrah dan identitasnya. Arwa tetaplah seorang Muslimah yang teguh memegang prinsip-prinsip kesantunan, yang tercermin dalam adab berpakaian dan caranya menjaga interaksi.

Kisah Ratu Arwa tak lekang oleh waktu, terus menggaungkan inspirasi bagi perempuan untuk berani menggali, memupuk, dan memancarkan kemandirian. Sudah selayaknya perempuan masa kini, khususnya para Muslimah, terinspirasi untuk tak ragu menunjukkan segenap potensi diri. Buktikan bahwa perempuan adalah insan mulia yang sanggup menorehkan kontribusi besar bagi peradaban, bahkan melampaui segala ekspektasi, berbekal kematangan berpikir, kedalaman spiritual, dan kekuatan karakter yang tak terpatahkan.