Muslimahdaily - Hampir setiap tahun pada tanggal 25 Desember, terjadi perdebatan ditengah masyarakat mengenai hukum mengucapkan selamat hari natal bagi seorang muslim. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai ucapan selamat Natal?
Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tanggal 7 Maret 1981 bahwasanya umat muslim haram mengucapkan “Selamat Natal” bagi umat Kristiani.
Dikatakan oleh Syeikh Ibnul Qayyim dan Syeikh Ibnu Taimiyah adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syiar - syiar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama.
Lalu mengucapkan Natal saja tidak diperbolehkan, bagaimana menggunakan atribut Natal?
Majelis Ulama Indonesia resmi mengeluarkan pandangan hukum terkait penggunaan atribut Natal yang terdapat pada fatwa MUI No. 56 tahun 2016, yang mengatakan bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram dan mengajak dan atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim juga haram.
Selain fatwa MUI tersebut, menurut Syeikh Ibnul Qayyim sesungguhnya menggunakan atribut non-muslim adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan. Perkataan beliau sesuai dengan salah satu hadist Rasulullah shallalllahu ‘alalihi wa sallam yang bersabda :
“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai kaum selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi, juga Nashrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya” - HR Imam Tirmidzi
Maka dapat disimpulkan bahwa sebagai umat Muslim yang baik mengucapkan “Selamat Hari Raya Natal” maupun menggunakan atribut yang berhubungan tidak diperbolehkan.
Umat Islam tetap harus menjaga kerukunan hidup antara umat beragama, memelihara keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
Sebagai seorang muslim sangat penting untuk hidup bertoleransi, salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6)