Muslimahdaily - Di era digital yang menawarkan kemudahan, muncul sistem jual beli dropshipping. Transaksi dropship banyak dipilih karena penjual tidak memerlukan modal untuk menjual suatu barang. Penjual dropshipper menawarkan barang jualannya lewat foto atau deskripsi saja.

Penjual dropshipper juga tidak perlu menyediakan stok barang serta pengiriman barang kepada pembeli. Singkatnya, penjual yang berlaku sebagai dropshipper hanya menjadi perantara yang menghubungkan pembeli dengan penjual atau produsen. Banyak di antara dropshipper ini belum pernah memegang atau melihat secara langsung barang yang dijualnya.

Melansir dari laman NU Online, sistem dropship ini termasuk ke dalam sistem jual beli tanpa modal (urudlu al tijarah).

Kasus dropship yang terjadi pada umumnya dibagi menjadi dua macam. Pertama, dropshipper memberikan harga sendiri atas barang yang dijual, harga ini berbeda dengan harga yang ditetapkan oleh penjual atau pemilik stok.

Berikut deskripsi contohnya:

Penjual, dalam hal ini disebut dropshipper membuat akun jualan sendiri. Sementara barang tersebut tidak berada di sisinya serta tidak ada kesepakatn imbalan (ujrah) dengan supplier. Dropshipper ini juga tidak mendapat izin dari supplier untuk menawarkan barang daganganya.

Dalam kasus pertama ini, mayoritas ulama bersepakat bahwa hukumnya haram. Kecuali pada madzhab Hanafi yang masih memperbolehkan dengan syarat bahwa dropshipper mengetahui ciri-ciri umum dari barang yang ditawarkan.

Hukum yang memperlemah status kebolehan dropship jenis ini adalah masalah izin yang belum didapatkan oleh dropshipper dari supplier. Hal tersebut pula yang membuat sistem ini tergolong pada akad makelar (samsarah).

“Samsarah adalah perantara antara penjual dan pembeli. Simsar adalah orang yang menjadi penengah antara penjual dan pembeli untuk menjalankan proses transaksi. Disebut juga dallal, karena ia mengantarakan pembeli kepada barang yang ia cari, dan mengantarkan penjual kepada penjualan.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah).

Akad samsarah ini seperti yang disebutkan di atas tidak diperbolehkan oleh mayoritas ulama. Sementara dari kalangan Syafi’iyah ada yang memperbolehkan pada barang yang sifatnya mudah dikenali dan tidak gampang berubah ciri khasnya. Begitu juga dengan kalangan Malikiyah, ada yang memperbolehkan akad samsarah.

“Jual beli makelar adalah boleh, dan upah yang diambil oleh makelar adalah halal karena ia didapat karena adanya amal dan jerih payah yang masuk akal.” (Syekh Wahbah Al Zuhaily dalam Al Fiqhy Al Islam wa Adillatuhu).

Kedua, dropshipper hanya berperan sebagai orang yang mendapatkan izin menjualkan barang supplier dengan harga yang sudah ditetapkan oleh supplier. Karena telah mendapat izin, maka dropshipper ini memiliki kuasa untuk menjual barang tersebut dan setara kedudukannya dengan reseller. Bedanya, barang yang dijual belum ada di tangan pedagang.

Melihat dari deskripsi di atas, sistem dropship jenis kedua ini termasuk dalam kategori bai’un ainin ghaibah maushufatin bi al yad, yakni jual beli barang yang belum ada di tempat, namun dapat diketahui sifat dan ciri khas barangnya.

Dalam kasus ini, kalangan ulama madzhab Syafi’i ada yang memperbolehkannya. Hal ini sebagaimana pendapat berikut.

“Maksud dari pernyataan Abi Syujja’ “belum pernah disaksikan”, dipahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib (tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh.” (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny dalam Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr).

Seperti dalil di atas, sistem seperti ini diperbolehkan dengan syarat bahwa dropshipper pernah menyaksikan barang tersebut, mudah dikenali, dan tidak mudah berubah modelnya.

“Jika barang “‘ain ghaibah” adalah berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah oleh waktu ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan dengan membeli (oleh yang `memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut adalah sah disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.” (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny dalam Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr).

Sistem dropship jenis kedua ini termasuk dalam akad salam, yakni jual beli dengan sistem pemenasan dan akad ini diperbolehkan (jaiz).

“Akad salam adalah jual beli suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya dengan penyerahan barang tertunda, namun pembayaran kontan di awal.” (Fiqhus Sunnah).

Demikian ulasan mengenai hukum sistem dropship. Wallahu ‘alam.

Sumber: NU Online dan Muslim.or.id.

Itsna Diah

Add comment

Submit