Muslimahdaily – Media sosial sempat ramai oleh ratusan mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terjerat pinjaman online (pinjol) mencapai miliaran rupiah. Setelah ditelusuri polisi, para mahasiswa tersebut telah tertipu investasi bodong yang korbannya sebanyak 311 orang, termasuk mahasiswa IPB di dalamnya.
Sang oknum diketahui melakukan penipuan tersebut dengan modus memanfaatkan para mahasiswa yang tengah memerlukan dana untuk kegiatan kemahasiswaan dengan diiming-imingi bagi hasil sebesar 10 persen.
Berhubungan dengan ini, pinjaman online atau pinjol memang banyak diminati dan digunakan oleh masyarakat khususnya Indonesia. Hal ini dikarenakan pinjol lebih mudah, efektif serta cepat dalam pencairannya. Namun di balik kemudahannya itu, pinjol menimbulkan masalah yang cukup besar hingga dalam banyak kasus dapat membuat si peminjam merasa stress, depresi bahkan bunuh diri. Masalah tersebut di antaranya seperti bunga yang sangat besar, ancaman bagi peminjam yang tidak bisa bayar utang, dan penagihan yang tidak sesuai prosedur.
Pinjol dalam sisi hukum sendiri disebut sah dan legal, begitu juga secara fikih. Melansir dari laman Mui.or.id, dalam kajian fikih muamalah kontemporer, pinjam uang dengan cara online hukumnya boleh. Serah terima secara hukmiy (legal-formal/non-fisik) dianggap telah terjadi baik secara i’tibâran (adat) maupun secara hukman (syariah maupun hukum positif) dengan cara takhliyah (pelepasan hak kepemilikan di satu pihak) dan kewenangan untuk tasharruf (mengelola/memperjualbelikan/menggunakan di pihak lain), meskipun serah terima secara hissan (fisik barang) belum terjadi.
Syaikh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri dalam bukunya berjudul Syarh al-Yaqut an-Nafiis halaman 22 mengatakan:
والعبرة في العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ…وعن البيع و الشراء بواسطة التليفون والتلكس والبرقيات, كلهذه الوسائل وأمثالها معتمدة اليوم وعليها العمل
"Yang dipertimbangkan dalam akad-akad adalah subtansinya bukan bentuk lafadznya, dan jual beli via telpon, telegram dan sejenisnya telah menjadi alternatif yang utama dan dipraktekkan”.
Meski dalam segi fikih diperbolehkan berutang-piutang secara online, namun tentunya Islam juga memperhatikan ketentuan seperti di bawah ini:
1. Tidak Mempraktikkan Riba
Riba merupakan kata yang asalnya dari bahasa Arab, memiliki arti kelebihan atau tambahan. Melansir dari Money.kompas.com, dalam artian sederhana, riba adalah tambahan yang disyaratkan dan diterima pemberi pinjaman sebagai imbalan dari peminjam utang. Islam sendiri sudah secara terang-terangan mengharamkan praktik riba dalam Al-Qur'an.
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
"Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah: 275).
Tak hanya dalam Al-Qur'an, praktik riba ini juga diberi peringatan serta kecaman oleh Rasulullah dalam hadis. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa,” (HR. Muslim, no. 1598).
Dalam hal ini yang terkena laknat tersebut tak hanya rentenir, namun juga si peminjam, pencatat transaksi, dan saksi.
2. Jangan Menunda dalam Melunasi Utang
Jika si peminjam sudah memiliki uang dan cukup mampu melunasi utangnya namun ia justru menunda-nunda, maka dalam kasus ini hukumnya menjadi haram.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ
“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, halal untuk dihukum dan kehormatannya,” (HR. Nasa’i).
Selain itu menunda dalam membayar utang juga termasuk ke dalam tindakan zalim.
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).
Kedua hadis di atas tidak berlaku untuk orang yang belum bisa melunasi utangnya karena memang belum cukup secara finansial.
Dilansir dari laman NU Online, Syekh Badruddin al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhori, juz 18, halaman 325, mengatakan:
لأن المعنى أنه يحرم على الغني القادر أن يمطل بالدين بعد استحقاقه بخلاف العاجز
"Makna hadits di atas bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar)”.
Orang yang menunda membayar utang juga dapat dikategorikan orang fasik jika hal itu dilakukan secara berulang-ulang. Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam Syarah an-Nawawi ala
Muslim, juz 10, halaman 227, menjelaskan:
وقد اختلف أصحاب مالك وغيرهم في أن المماطل هل يفسق وترد شهادته بمطلة مرة واحدة أم لا ترد شهادته حتى يتكررذلك منه ويصيرعادة ومقتضى مذهبنا اشتراط التكرار
“Ulama mazhab Maliki berbeda pendapat mengenai orang yang menunda membayar utang apakah ia dihukumi fasik dan tertolak kesaksiannya (di majelis hakim) dengan melakukan satu kali penundaan membayar utang, atau kesaksiannya tidak tertolak kecuali ia sampai mengulangi perbuatan tersebut secara berulang-ulang dan menjadi kebiasaannya? Berdasarkan analisis dalam mazhab kita (mazhab Syafi’i) disyaratkan berulang-ulangnya penundaan membayar utang (dalam melabeli fasik pada orang yang menunda membayar utang)”.
3. Memaafkan Orang Tidak Mampu Membayar Utang
Pada hakikatnya utang wajib dibayar, bahkan dalam Islam sendiri utang dapat memengaruhi seseorang hingga ke akhirat. Jika dalam kasus yang berutang sudah meninggal dan belum sempat membayarnya, maka ahli warisnya punya kewajiban untuk melunasi utang tersebut. Namun jika orang yang meminjam benar-benar tidak sanggup melunasi utang, maka memaafkan adalah suatu perbuatan yang mulia.
Allah Subhanallahu wa ta'ala berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 280:
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya)".