Muslimahdaily - Sahabat muslimah pernah mengalami situasi dan kondisi saat mengalami masalah keuangan? Tidak sedikit yang pernah mengalaminya. Atau mungkin pernah melakukan kegiatan jual-beli tapi ternyata isi dompet kita sangat terbatas?
Kondisi seperti ini kadang kala membuat kita berpikir untuk ‘bagaimana jika berhhutang saja ya’? Aktivitas satu ini rasanya salah satu aktivitas yang kerapkali tidak bisa kita hindari. Lantas, sebenarnya bolehkah kita berhutang?
Allah Subahanahu Wa Ta’ala sendiri membolehkan umatnya untuk berhutang. Tetapi, tentu ada beberapa adab yang patut kita perhatikan saat melakukan proses hutang pihutang. Seperti yang difirmankan dalam surat Al Baqarah ayat 282 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu’aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.”
Nah, artinya dalam firman Allah tersebut berhutang itu diperbolehkan. Asal, kita sebaiknya mencatat hutang-pihutang kita. Tujuannya, supaya kita ingat dan sesegera mungkin mengembalikannya. Dengan begitu kedua belah pihak dapat saling menguntungkan.
Selain itu tentunya dapat menghindari permusuhan ya muslimah. Bagaimana rasanya jika sang pemberi hutang sudah sering mengingatkan kita untuk membayar hutang, tapi ternyata belum juga ada respon dari si penghutang? Tentu akan menyulut permusuhan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sendiri juga mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam berhutang. Menurut beliau, berhutang sebaiknya memang dalam keadaan yang amat terpaksa dan terdesak. Sebab, hutang merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari.
Suatu hari, beliau pernah menolak menyalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang. Ia bahkan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Lalu Rasulullah bersabda, “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (H.R Muslim). Na’udszubillah mindzalik.
Selain itu, ada baiknya saat kita mengembalikan hutang, kita dapat memberi tambahan atau hadiah kepada si pemberi hutang. Rasulullah sendiri mencontohkanya kepada kita. Suatu kali, beliau pernah membeli makanan dari salah seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya. (H.R Bukhari).
Artinya, saat mengembalikan hutangnya beliau juga memberikan tambahan hadiah. Kebaikan yang dibalas dengan kebaikan insyallah akan mendatangkan kebaikan. Dan tentu saja akan mempererat persaudaraan sesama muslim. Tidak ada salahnya kan kalau kita memberi hadiah kepada saudara kita yang telah mau menolong di saat sempit?
Namun, tentu kembali lagi kepada niat kita. Untuk apakah kita berhutang? Apakah hanya untuk sekadar bersenang-senang? Misalnya, kita sudah memiliki sebuah motor, lantas berniat berhutang hanya untuk membeli motor baru. Atau, malah berhutang dengan niat meminta?
Nabi saja sudah mengingatkan sejak awal bahwa, “Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya.” (H.R Bukhari).
Maka, alangkah baiknya nih kalau kita mempertimbangkan dahulu apakah kita bisa membayar hutang tersebut? Apakah tujuan berhutang ini amat mendesak?