Muslimahdaily - Bagi orang-orang yang memiliki kecemasan sosial pasti dapat dengan mudah mengenali situasi ini; kamu merasakan kecemasan yang mendalam dan sangat mengantisipasi untuk hadir dalam sebuah acara. Contohnya seperti undangan ulang tahun atau keperluan tugas untuk presentasi di depan banyak orang. Seakan-akan kamu merasa masuk ke dalam pikiran orang lain dan membuat berbagai skenario yang berbeda tentang apa yang salah dari diri kita. Bahkan, kamu berusaha keras untuk meyakinkan diri bahwa mungkin semua tidak berjalan semestinya sehingga akhirnya menjadi panik, khawatir dan terpaku diam.
Keadaan di atas dapat disebut sebagai kecemasan sosial. Agar tidak menggangu aktivitas kamu, kecemasan sosial dapat dikurangi. Berikut Muslimahdaily rangkum 3 cara mengurangi kecemasan sosial:
1. Mengubah cara pikir
Mencoba untuk melatih “cognitive reframing”. Cara ini akan sangat membantu untuk mengubah cara pikir kita terhadap rasa khawatir tersebut. Jika rasa cemas mulai muncul dan menguasai pikiranmu, tarik nafas perlahan dan pejamkan mata sebentar untuk membantu memusatkan pikiran yang lebih jernih. Kemudian kamu bisa mencoba beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada diri sendiri, di antaranya adalah:
- Apa kemungkinan dari konsekuensi yang kamu takuti akan terjadi?
- Jika iya, apa hal terburuk yang dapat terjadi?
- Apakah ada cara lain untuk menginterpretasi situasi ini?
- Apa yang kita akan katakan pada teman yang berada di situasi yang sama?
Memang tidak semudah itu untuk mengubah cara pikir, tapi kamu bisa mulai dengan langkah kecil dari diri sendiri. Latihan lainnya yang bisa dicoba adalah mencoba untuk perlahan secara bertahap melakukan pendekatan pada situasi yang biasanya kamu hindari karena anxiety. Hal tersebut disebut juga dengan exposure dan sebuah proses yang cukup kompleks juga. Untuk hasil yang lebih maksimal, sebaiknya kamu melatihnya didampingi oleh profesional.
2. Membuat ruang untuk anxiety-mu
Anxiety yang muncul dapat memberikan dampak atau reaksi pada tubuh kita juga. Beberapa orang mungkin mengalaminya saat berada di tengah-tengah situasi yang menakutkan baginya. Seperti gemetar, berkeringat, dan pipi memerah karena malu. Dengan situasi yang seperti itu, kamu cenderung untuk menyetujui opini orang lain dengan cepat dan ketinggalan obrolan dengan mudah.
Semua itu karena mungkin kamu ragu dan tidak tahu harus ngomong apa. Ketika berada di situasi yang sangat panik, ada baiknya untuk melatih mindfulness exercise atau latihan kesadaran yang penuh untuk kesehatan berpikir. Latihan mindfulness dapat mengajarkan kita untuk embrace rasa cemas tanpa harus mencoba untuk membiarkannya masuk ke dalam kepala kamu.
3. Mengikhlaskan yang sudah terjadi
Hakikatnya, masa lalu yang buruk atau tidak sesuai keinginan kita memang sudah takdir yang tidak bisa diubah. Yang tersisa hanya pelajaran atau hikmah yang bisa kita ambil dan tingkatkan untuk bekal diri di masa depan.
Dalam dunia psikologi, ada istilah bernama Post-event processing yaitu situasi saat seseorang terlalu mengkritik diri sendiri dengan mempertimbangkan segala aspek kecil yang kita lakukan dalam situasi sosial. Apa yang kita katakan dan tidak katakan, lalu mengkritik bagaimana kita melakukannya. Kita meyakinkan diri bahwa kita mungkin mengacaukan semuanya dan tenggelam dalam pikiran negatif, merasa tidak cukup, tidak berguna dan tidak ada harapan.
Semua hal tersebut mengganggu kemampuan sosial kita menjadi kurang percaya diri, kemudian mengkhawatirkan situasi sosial di masa depan. Kita terjebak dalam lingkaran setan menyesali masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Ketika kita terlalu terlibat di dalamnya, melatih cognitive reframing seperti yang sudah disebutkan sebelumnya.
Contoh beberapa pertanyaan yang bisa ditanyakan kepada diri sendiri seperti:
- Apa kita punya bukti dari situasi yang tidak berjalan dengan baik?
- Apa kita punya bukti yang bertentangan dengan hal itu?
- Apa yang kita akan katakan pada teman jika berada di situasi yang sama?
Kemudian, kita bisa mengganti fokus kita pada mengidentifikasi aspek-aspek tersebut yang berjalan dengan baik dan memperbaiki untuk komunikasi yang lebih baik di masa depan.
Sumber: Psychology Today