Muslimahdaily – Setiap pasangan dalam pernikahan akan mengalami konflik. Tetapi bersyukurlah, itu bukan hal yang buruk. Terkadang terlintas perceraian yang menjadi ancaman ketika munculnya tanda-tanda perselisihan, kedurhakaan, atau penentangan seorang istri terhadap suami. Tapi itu bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan suatu masalah.
Sesungguhnya perkara yang terpenting yang dituntut dalam menyelesaikannya adalah sabar, tabah, dan mengetahui perbedaan dalam masalah penangkapan pikiran, dan perbedaan tabiat disertai dengan perlunya mentolelir dan memaafkan beberapa perkara. Tidak selamanya kebaikan dan kemaslahatan itu selalu ada dalam perkara-perkara yang dicintai dan disenangi, bahkan terkadang kebaikan itu terdapat dalam perkara yang tidak disukai dan tidak disenangi.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Arab-Latin: Wa 'āsyirụhunna bil-ma'rụf, fa ing karihtumụhunna fa 'asā an takrahụ syai`aw wa yaj'alallāhu
fīhi khairang kaṡīrā
Artinya:. “…Dan pergauilah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’:19)
Jika muncul kerenggangan dan adanya tanda-tanda pengingkaran janji, sikap kedurhakaan, dan kesombongan istri melebihi tabiatnya dan mengarah kepada perbuatan yang keluar dari tanggung jawab dan tugasnya, seperti mengurangi hak-hak suami, ada tanda ingin lari, bahkan mengingkari keutamaan suami, maka cara penyelesaian hal ini dalam islam adalah jelas, tidak ada penyebutan thalak di dalamnya, tidak secara lugas dan tidak pula secara sindiran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Arab-Latin: Wallātī takhāfụna nusyụzahunna fa'iẓụhunna wahjurụhunna fil-maḍāji'i waḍribụhunn, fa in aṭa'nakum fa lā tabgụ 'alaihinna sabīlā, innallāha kāna 'aliyyang kabīrā
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Cara penyelesaiannya adalah dengan memberikan nasehat, pengarahan dan mejelaskan kesalahannya, mengingatkan akan hak-hak suami, menakut-nakuti dengan kemurkaan dan kemarahan Allah disertai dengan menempuh jalan yang cerdik dan arif, penuh dengan kebijaksanaan guna memberikan dorongan dan ancaman.
Terkadang dengan memboikotnya di tempat tidur sebagai pengimbangan atas kesombongan dan nusyuz yang ia lakukan bisa menjadi cara penyelesaian. Namun yang perlu diperhatikan bahwa boikot tersebut dilakukan di tempat tidur bukan mengusirnya dari tempat tidur. Sesungguhnya boikot tersebut di tempat tidur dan bukan di rumah, bukan di hadapan keluarga, anak-anak, dan bukan pula orang lain. Tidak dengan menyiarkan, menghinakan, atau menyingkap rahasia dan tirai penutup, akan tetapi menyeimbangi nusyuz dan sikap sombongnya dengan boikot dan sikap menahan diri yang bisa mengantarkan kepada sikap solidaritas dan persamaan.
Terkadang juga cara penyelesaian masalah tersebut dengan memunculkan sikap keras dan kasar. Mungkin ada beberapa manusia yang tidak cukup cara meluruskannya dengan cara menggaulinya dengan baik dan menasehatinya dengan baik-baik. Mereka adalah jenis manusia yang telah meremehkan sikap lemah-lembut dan bijaksana, apabila muncul sikap keras maka semuanya kembali menjadi tenang dan keributan pun reda.
Sikap keras bisa menjadi obat yang mujarab. Hal yang perlu ditekankan adalah bagaimana cara memberikan ancaman sedangkan pengingkaran tugas sudah melewati batas?
Tujuan dari sikap keras ini bukan dimaksud menyiksa secara kasar fisik atau babak belur, melainkan untuk mengembalikan keteraturan dan keeratan rumah tangga, dan mengembalikan kecintaan dan kasih-sayang antara sesama keluarga.
Namun, apabila sang istri takut dengan kekerasan dan dia berpaling dari suaminya maka Al-Qur’an memberikan araham bagaimana cara menyelesaikannya :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ
Arab latin: Wa inimra`atun khāfat mim ba'lihā nusyụzan au i'rāḍan fa lā junāḥa 'alaihimā ay yuṣliḥā bainahumā ṣul-ḥā, waṣ-ṣul-ḥu khaīr
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)..” (QS. An-Nisaa’: 34)
Yakni menyelesaikannya adalah dengan mendamaikan dan saling damai, bukan dengan cerai dan juga bukan dengan membatalkan akad. Terkadang juga dengan cara melepaskan sebagian hak-hak harta maupun pribadi dalam rangka menjaga akad nikah: “Dan perdamaian itu lebih baik”.
Perdamaian lebih baik daripada perceraian, kekerasan, nusyuz, dan thalak.