Muslimahdaily – Ketika berbicara tentang orang yang narsis, kemungkinan besar pikiran kita akan tertuju kepada orang dewasa. Namun perilaku narsistik ini bisa berlaku juga pada anak-anak yang kebanyakan dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.
Narcissistic Personality Disorder (NPD) atau gangguan kepribadian narsistik sering disalahpahami pada ciri-ciri seseorang yang hanya memiliki sifat sombong, arogan, dan egois. Sifat-sifat tersebut tentu menjengkelkan dan tidak menyenangkan untuk berada di sekitar mereka. Namun narsistik merupakan gangguan yang lebih dalam dan lebih merusak yang memiliki efek menghancurkan untuk orang-orang yang terlibat hubungan dengan mereka. Narsisme merupakan gangguan yang sulit untuk diobati, beberapa bahkan percaya tidak dapat diobati. Landasan dari gangguan ini adalah kurangnya empati dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan dunia emosional orang lain.
Anak-anak paling rentan terhadap pengaruh kepribadian narsistik. Baik dan buruknya cara orang tua memperlakukan anaknya memengaruhi kepribadian anak itu di masa dewasanya. Anak-anak berperilaku narsistik dapat ditandai dengan rasa superioritas, kurangnya empati, menjatuhkan anak-anak lain, kesulitan dalam menjalin pertemanan yang baik dan tahan lama, bersikap angkuh atau dingin, tidak toleran, kebiasaan selalu menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dilakukan sendiri.
Orang tua dipercaya memiliki peran penting dalam membesarkan anak-anak narsis tersebut. Karena itu, berikut adalah beberapa perilaku pengasuhan yang harus dihindari untuk mengurangi kemungkinan anak menjadi narsistik.
Tidak Melatih Anak dengan Rasa Empati
Membantu anak memikirkan bagaimana perasaan orang lain dan apa yang mereka alami sejak dini sangatlah penting. Dengan adanya rasa empati, anak dapat membangun dan menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Beberapa cara yang bisa diterapkan untuk melatih empati pada anak di antaranya ajarkan anak apa mengenali dan memahami bagaimana emosi terlebih dahulu, berikan contoh berempati, ajari anak bersopan santun, ajari anak cara menghadapi emosi negative, melibatkan anak dalam kegiatan amal.
Tidak Mengakui Perilaku Negatif Sendiri
Anak-anak belajar dengan mengamati dan merenungkan, yang berarti mereka mungkin juga akan meniru tindakan negatif dari orang tuanya. Seperti contoh, ada seorang pelayan yang salah dalam mengambil pesanan seorang ibu. Alih-alih menangani masalah tersebut dengan baik-baik, ibu tersebut justru meneriaki pelayan. Alhasil, anak akan melihat dan berpikir cara negatif ibunya dalam bereaksi serta bertindak. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk mengajarkan dan menunjukkan kepada anak-anak apa itu Emotional Intelligence (EQ) atau kecerdasan emosional, terutama dalam hal empati.
Mengutip dari Ruangkerja.id, emotional intelligence adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan dan memahami emosi (baik emosi orang lain maupun emosi diri sendiri) dengan tujuan meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Seseorang dengan emotional intelligence yang baik mampu mengontrol emosi saat marah, peka terhadap perasaan orang lain, dsb. Maka dari itu, berlatih EQ akan memudahkan anak untuk mengungkapkan perasaan mereka dan memperhatikan perasaan orang lain di masa depan.
Tidak Memvalidasi Emosi Anak
Jika orang tua mengabaikan emosi anak, pada dasarnya ia sedang mengajari mereka bahwa apa yang mereka rasakan salah. Akibatnya, anak akan kesulitan mengatur perilaku mereka yang dapat menyebabkan sejumlah masalah seiring bertambahnya usia, seperti kecanduan, melukai diri sendiri, perilaku protektif, dan selalu menghindar dalam menghadapi situasi sulit, dimana perilaku-perilaku tersebut merupakan sifat narsistik yang umum. Studi juga menemukan bahwa rasa malu, rasa tidak aman, dan ketakutan adalah akar dari diri narsistik.
Maka dari itu, orang tua harus memvalidasi atau memberi pernyataan terkait emosi anak. Dengan memvalidasi emosi mereka berarti memberi tahu mereka bahwa apa yang mereka rasakan adalah wajar atau masuk akal.
Contohnya seperti saat ada seorang ibu tengah menjemput anaknya dari sekolah. Namun saat itu sang anak masuk ke mobil dengan wajah marah dan membanting pintu. Pada situasi itu, sebagai seorang ibu jangan mengomeli anak tersebut karena sikap buruknya, namun tanyakan, “Sepertinya kamu mengalami hari yang buruk di sekolah. Apa yang sedang terjadi?”.
Setelah sang anak memberi tahu apa yang terjadi, validasi dan katakan, “Itu tidak baik, tapi Ibu bisa mengerti kenapa kamu kesal”. Dengan memberi pernyataan seperti itu tidak berarti sang ibu menyetujui atau tidak menyetujui respons emosional mereka. Namun sang ibu hanya memberi tahu anak bahwa perasaannya dapat diterima. Dengan begitu, seiring waktu mereka akan menjadi lebih baik dalam mempercayai perasaan mereka.
Tidak Memeriksa Perilaku Narsistik Anak
Bagaimana bisa mengetahui anak menunjukkan perilaku narsis?
Ada berbagai tes yang bisa dilakukan. Jika ada hal yang buruk terjadi dalam suatu adegan dalam film atau buku, tanyakan kepada anak apa yang mereka pikirkan tentang perasaan karakter tersebut.
Jika mereka merasa sedih atau marah, maka tingkat EQ anak berada di jalur yang benar. Sebaliknya, jika mereka mengatakan bahwa mereka tidak peduli atau tidak mau tahu dengan perasaan karakter tersebut, maka tanda tersebut perlu dipertanyakan.
Jika khawatir anak memiliki kecenderungan narsistik dan sebagai orang tua tidak memiliki keterampilan untuk membantu sang anak, bawalah anak ke terapis atau konselor yang berspesialisasi dalam gangguan kepribadian.
Ingat, perilaku narsistik sering kali merupakan kebiasaan yang kita pelajari selama masa kanak-kanak, dan itu bisa dihilangkan.
Terlalu Banyak Memuji dan Tidak Menetapkan Batasan
Sesuatu yang berlebihan tidaklah baik, termasuk memuji anak untuk setiap pencapaian kecil mereka. Meskipun baik untuk mendukung upaya anak, namun jika anak terus-menerus dipuji atas semua yang mereka lakukan, mereka menjadi kecanduan pujian dan pada akhirnya akan merasa kecewa serta putus asa ketika ada yang tidak memuji atas semua yang mereka lakukan.
Mereka memiliki perasaan yang tinggi terhadap pentingnya diri mereka. Mereka merasa sulit untuk menerima atas kesalahan yang mereka lakukan, karena mereka telah diajarkan untuk percaya bahwa mereka istimewa dan tidak dapat melakukan kesalahan apa pun sejak mereka masih anak-anak.
Anak-anak seperti ini juga sering dimanjakan dengan segala macam harta benda. Orang tua berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi semua keinginan mereka hingga mengorbankan karir dan minat mereka sendiri untuk memberikan waktu kepada anak.
Cinta Bersyarat
Orang tua yang tidak konsisten, lalai, atau kasar dapat membesarkan anak-anak yang menunjukkan pola narsistik di masa dewasa. Selain itu orang tua yang sangat bersyarat dalam cinta mereka, tidak menerima dan menghargai anak dalam apa yang mereka capai, bagaimana penampilan mereka, serta bagaimana kinerja mereka juga dapat menumbuhkan sikap narsistik pada anak.