Kisah Imam Syafi'i dan Ratusan Unta yang Ditolak Sang Ibunda

Muslimahdaily - Imam asy-Syafii berkata, “Ketika aku telah menghafalkan Alquran, aku masuk ke masjid. Aku mulai duduk di majelisnya para ulama. Mendengarkan hadits atau pembahasan-pembahasan lainnya. Aku pun menghafalkannya juga.”

“Ibuku tidak memiliki sesuatu yang bisa ia berikan padaku untuk membeli kertas. Jika kulihat bongkahan tulang yang lebar, kupungut lalu kujadikan tempat menulis. Apabila sudah penuh, kuletakkan di tempaian yang kami miliki.”

Ia telah yatim sedari kecil. Meskipun begitu, semangatnya dalam menuntun ilmu mengalahkan segala kesedihannya. Kemiskinan memang menghantui dirinya dan sang ibu, akan tetapi hal itu tak menutup jalannya untuk tetap mengais ilmu.

Di dalam sunyinya malam, ibunda bersujud di hadapan Ilahi sambil berdoa, “Ya Allah, Yang Menguasai seluruh alam. Anakku akan meninggalkanku untuk perjalanan jauh demi mencari ridhaMu. Aku rela melepasnya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Maka hamba memohon kepadaMu, mudahkanlah urusannya. Lindungilah ia, panjangkanlah umurnya agar aku bisa melihatnya nanti ketika ia pulang dengan dada yang penuh dengan ilmu-Mu.”

Ketika asy-Syafii hendak pergi menuju Madinah, ibunya melepas anaknya dengan segala keridaan. Dengan mata yang berkaca-kaca ia berkata, “Pergilh anakku, Allah bersamamu. Engkau akan menjadi bintang paling gemerlap di kemudian hari. Pergilah! ibu telah rida melepasmu. Ingatlah bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong”

Di Madinah, beliau berguru dengan Imam Malik, penulis Al-Muwaththo’, kitab hadis shahi pertama. Imam Malik adalah ulama besar di Madinah yang terkagum-kagum akan kecerdasan Imam asy-Syafii hingga menjadikannya murid kesayangan.

Studi yang ia tempuh di Madanih rasanya belum cukup. Ia pun melanjutkan rihlah ilmiahnya menuju Irak bersama murid-murid Imam Abu Hanifah. Di Irak, beliau menjadi pembelajar yang unggul dan kepintarannya terdengar ke seluruh penjuru negeri. Dalam waktu yang singkat, ia sudah diberi mandat untu mengajar dan akhirnya ia menjadi ulama besar di penjuru hijaz dan irak.

Suatu ketika, ibunda Imam Asy-Syafii menunaikan ibadah haji dan turut mendengan pengajian yang diselenggarakan di Masjidil Haram. Pengajian itu dipimpin oleh seorang ulama dari Irak.

Sang ibu merasa terheran-heran saat mengikuti majlis tersebut. Nama Muhammad bin Idris asy-Syafii kerap disebut-sebut. Ia penasaran apakah yang disebut adalah anaknya. Iapun bertanya kepada Ulama di majlis itu, “Wahai Syaikh, siapakah itu Muhammad bin Idris Asy Syafii?”

Ulama itu menjawab, “Dia adalah guruku, seorang ulama besar di Irak yang berasal dari kota Mekkah ini.”

Wanita itupun terkejut dan berkata, “sesungguhnya Muhammad bin Idris Asy Syafii adalah anakku.”

Mengetahui hal tersebut, sang ulama langsung tunduk hormat kepada ibu dari gurunya itu. Ibunda Imam Asy-Syafii lalu menyampaikan pesan kepada ulama tadi, “Katakan pada anakku, jika ia ingin pulang ke Mekkah, maka pulanglah.”

Sesampainya di Irak, ulama itu langsung bertemu asy-Syafii dan menyampaikan pesan ibunya. Rasa rindu amat membuncah. Asy-Syafii bergegas pulang kampung dan menemui ibunya untuk menuntaskan rindu berkepanjangan.

Sebelum pulang, Muhammad bin Idris Asy-Syafii meperoleh banyak perbekalan makanan, harta dan ratusan unta. Kepulangannya dikawal oleh muridnya bak rombongan raja yang ingin mengunjungi suatu tempat.

Sesampainya di perbatasan kota Makkah, ia memerintahkan muridnya untuk memberi kabar kepada ibunya bahwa ia akan segera sampai.

Muridnya itupun menemui ibunda Imam as-Syafii lalu menyampaian bahwa gurunya akan segera tiba. Namun wanita itu bertanya, “Apa saja yang ia bawa?”

Muridnya menjawab, “Imam asy-Syafii datang dengan membawa ratusan unta dan harta yang berlimpah.”

Mendengar pernyataan tersebut, wanita itu justru marah dan mengatakan dengan tegas, “Aku menyuruhnya berkelana bukan untuk mencari dunia, katakan padanya bahwa dia tidak boleh pulang kerumah.”

Dengan cemas, murid itu menyampaikan permohonan wanita itu kepada gurunya. Mendengar hal ilu, Imam Syafii langsung membagikan seluruh harta yang ia dapatkan kepada penduduk Makkah dan hanya menyisakan kitab-kitab miliknya.

Murid tadipun diminta untuk menemui ibunda asy-Syafii dan menyampaikan keadaan terkini dirinya. Akhirnya, sang ibu menerima kedatangan buah hati yang amat sangat dirindukannya. Seorang anak yang sudah yatim sedari kecil namun tumbuh menjadi ulama besar dan namanya terkenang hingga kini.

Add comment

Submit