Muslimahdaily - Suatu hari pada zaman Nabi Musa, hiduplah seorang pemuda yang terkenal akan kemaksiatannya. Pemuda tersebut terserang sebuah penyakit hingga akhirnya ia meninggal.

Namun, akibat hidupnya yang selalu diisi dengan kemaksiatan, tak ada orang yang mau memandikan dan menguburkan jenazah pemuda itu. Oleh penduduk, jenazah pemuda tersebut dibuang ke tempat sampah di dekat pasar.

Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya untuk Nabi Musa ‘Alaihissalam melalui Malaikat Jibril. Allah memerintahkan untuk Nabi Musa untuk membawa jasad tersebut dan memakamkannya selayaknya manusia lain.

Allah berfirman, “Musa, telah mati seorang laki-laki, jenazahnya ada di tempat sampah. Padahal ia kekasih-Ku. Ia tidak dimandikan, tidak dikafani, dan tidak dikuburkan. Berangkatlah, mandikan, kafani, sembahyangkan, dan kuburkan dengan kemuliaan!”

Setelah turun wahyu tersebut, berangkatlah Nabi Musa ke pasar. Ia menanyakan kepada penduduk tentang pemuda yang meninggal.

“Ya, seorang laki-laki durhaka telah meninggal di sini,” jawab salah satu penduduk.

Nabi Musa menanyakan di mana penduduk membuang jenazah pemuda tersebut. Ia juga menuturkan bahwa kedatangannya semata-mata untuk mengurus jenazah yang mereka anggap durhaka tersebut.

Penduduk kemudian mengantarkan Nabi Musa ke tempat mereka membuang jenazah pemuda durhaka. Sepanjang perjalanan, para penduduk marah dan mencaci maki sambil menceritakan perilaku pemuda durhaka semasa hidupnya.

Nabi Musa yang mendengar cacian tersebut jadi merasa bingung. Apa gerangan yang membuat Allah memerintahkannya untuk memandikan dan mengkafani jenazah pemuda durhaka.

“Tuhan, mengapa Engkau mengutusku duntuk menyembahyangkan dan menguburkannya, padahal kaumnya telah menyaksikan ia sebagai seorang durhaka. Hidupnya hanya melakukan perbuatan tercela. Sungguh, hanya Engkau yang Maha Tahu soal puji dan cela,” tanya Nabi Musa heran.

“Ya Musa, penduduk itu benar. Mereka menghukum laki-laki tersebut karena perbuatannya. Namun, aku telah mengampunianya karena tiga sebab. Ketauhilah bila seorang pendosa meminta ampun kepada-Ku dan Kuampuni, mengapa ia tidak? Padahal ia pernah berkata kepada dirinya bahwa Aku adalah Tuhan Maha Penyayang,” terang Allah pada Musa.

“Apakah tiga sebab itu, Wahai Tuhan?” tanya Musa kembali.

Allah menjawab, “Pertama, ketika laki-laki itu mendekati ajalnya, ia mengadu kepada-Ku, ‘Ya Tuhan, Engkau Maha Tahu tentang kepribadianku. Aku adalah pelaku maksiat. Walaupun demikian, hatiku begitu benci terhadap kemaksiatan. Aku melakukan maksiat karena tiga hal, yaitu dorongan hawa nafsuku yang membara, aku tidak mampu mengendalikannya, sehingga aku terjerumus. Selain itu teman-teman, dan pengaruh godaan iblis menjatuhkanku ke lembah kemaksiatan. Sungguh Engkau mengetahui tentang diriku ini, maka ampunilah hamba-Mu ini.’

Kedua, sebelum meninggal, laki-laki itu juga berkata, ‘Ya Tuhan, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pelaku maksiat, kedudukanku pasti setara dengan orang-orang fasiq. Namun, dalam hatiku lebih suka berteman dengan orang-orang shaleh. Aku suka cara mereka menjauhkan hati dari gemerlap dunia (zuhud). Tinggal dengan mereka sangat aku senangi daripada berkumpul dengan orang-orang fasiq.’

Ketiga, ia berkata, ‘Ya Tuhan, Engkau pasti tahu bahwa orang-orang shaleh lebih aku cintai daripada orang fasiq. Sehingga andai saja ada dua orang, yang satu shaleh dan yang satu buruk, maka pasti aku akan mendahulukan kebutuhan orang shaleh dibanding yang buruk.’”

Pada riwayat lain dijelaskan, “Pemuda tersebut juga berkata, ‘Ya Tuhan, jika Engkau mengampuni dosa-dosaku, para kekasih dan nabi-Mu pasti akan bangga. Setan dan musuh-Mu akan bersedih. Sementara bila Engkau menyiksaku, setan dan musuh-Mu akan bergembira, kekasih dan nabi-Mu akan bersedih. Ampunilah aku, Engkau sangat tahu apa yang aku sampaikan.’”

Allah melanjutkan, “Maka dengan demikian, Kuampuni dan Kurahmati dia, karena Aku Maha Pengasih dan Penyayang, terlebih kepada orang yang mengakui dosanya di hadapan-Ku. Wahai Musa, lakukan apa yang aku perintahkan. Atas kehormatannya, Kuampuni siapa pun yang menyembahyangkan jenazahnya dan hadir pada pemakamannya.”

Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa Allah Maha Pemberi Ampunan bagi hamba-Nya, terutama mereka yang mengakui dosanya. Tak selayaknya juga kita menghukum dan mencap seseorang sebagai ahli neraka. Putusan surga dan neraka merupakan hak Allah semata.

Sungguh kita tak akan pernah tahu hati seorang yang setiap harinya berbuat tercela sekalipun. Bahwa sesungguhnya ia merindukan kasih dan ampunan Allah. Bahwa sebenarnya hatinya sangat amat takut akan siksa Allah. Wallahu ’alam bish-shawabi.