Muhasabah Diri Saat Senja Menyapa

Muslimahdaily - Senja telah orange di ujung barat, semua pintu rumah mulai tertutup, suara adzan magrib pun berkumandang di udara memanggil jiwa-jiwa yang rindu dengan Sang Pencipta, langkah-langkah itu terlihat lamban, bahkan sandal pun seperti diseretnya.

Panggilan adzan tengah berapa berlalu, hayya ‘alal falaah, mari kita meraih kemenangan. Sungguh, kalimat itu menerangkan pada pendengarnya bukan sembarang kemenangan, namun kemenangan istimewa dalam wujud yang masih rahasia. Lampu-lampu depan rumah pun telah menyala, namun pintu-pintunya tak jua terbuka kembali. Hanya satu pintu yang terbuka amatlah lebar, pintu surga dunia yakni pintu mushola. Di pintu itu para malaikat menunggu, Allah selalu siap medengarkan hambanya yang memohon pada-Nya, bahkan keberkahan melimpah di tiap sudut mushola.

Kaki-kaki yang lamban itu kini sampai di beranda mushola, terlihat begitu sulit melepas sendal japit usang pelindung telapak kaki yang telah ribuan kilo berpijak. Sungguh, semangatnya terlihat saat tubuh itu bergetar, bukan kakinya tak mampu lagi menopang tubuh yang hanya berlapis keriput namun semangat di jiwanya dalam menggapai keberkahan itu memaksakan tubuhnya tuk bergerak. Tak hanya beliau seorang, kawan-kawan sebayanya pun berdatangan memasuki mushola, mata ini berkedip, ketika membuka belum ada jua jiwa-jiwa muda yang satu semangat dengan merek. Iqomat pun berkumandang, tubuh-tubuh itu pun bangkit dengan merajutkan tangannya ke tepi dinding bahkan tangan itu saling bahu membahu membangkitkan, lalu takbir pun menghayutkannya dalam khusuk sholat dan munajat pada Sang Maha Kuasa.

Wajah-wajah yang telah mengenalkannya pada dunia, yang berkali-kali bertumpuh keringat dari segenap usaha-usaha, terlihat saat pipinya meringis menahan haru menyudahi gerakan-gerakan dalam sholat. Terdiam untuk beberapa saat, lalu kedua tangan yang telah menorehkan ribuan sejarah itu menengadah tuk memohon kepada Sang Kuas. Garis-garis tangannya telah sama rata dengan jelatan-jelatan dari usianya, air mata yang hendak tumpah itu diusapnya, wajahnya benar-benar dalam kerinduan pada Sang Pencipta.

Tangan-tangan itu melangkah bersalaman satu sama lain, terasa kekeluargaan ini lebih berharga dari sebongkah kekayaan yang ada dalam rumah, tak terlupa saat tangan itu berjabatan, senyum tulus nan ikhlas itu menghiasi wajah-wajahnya dengan berseri-seri.

Dan kini pun mulai melihat seonggok tubuh yang masih tegak berdiri bahkan mampu tuk berlari lebih cepat dari kaki-kaki lamban itu, namun semangat ibadahnya seperti buah yang kulitnya telah keriput. Lafadz hayya ‘alal falaah belum mengetuk batinnya, bahkan terkadang pura-pura tak mendengarnya, astagfirullah al-adzim. Saat seorang yang berjiwa besar mengajaknya, seribu alasan keluar dari lisannya, karena kelelahan dari aktivitas sehari-hari hingga berkata “nanti nyusul” namun hingga berjabat tangan tak jua datang.

Masa muda harus menikmati hidup, tubuh masih sehat dan kuat harus berlari mengejar harta untuk masa tua, bahkan hidup itu masih sangat panjang, banyak hal yang harus dilakukan dan memberikan kebermanfaatan, memang benar. Namun jika dalam tubuh dan jiwa itu tak ada ruang untuk semangat beribadah, hidup kan terasa hambar saat kau bertanya pada hati. Tak ada keberkahan yang dapat dipetik setiap harinya.

Ibadah sholat merupaka tiangnya sebuah agama, dengan tegaknya sholat maka akan tegaklah seluruhnya, jika ketegakan itu dibuat dengan sebaik-baiknya maka tegakknya akan lebih sempurna. Melakukan sholat munfarid diperbolehkan, namun hanya memiliki pahala satu derajat sedangkan melakukan sholat berjamaah sangat dianjurkan bahkan bagi laki-laki diwajibkan dan memiliki dua puluh tujuh derajat pahala, serta keberkahan yang dapat diraih tangan-tangan yang berpeluh atas kerja seharian, yang kesempurnaan kerjanya ada di sana, di atas sejadah yang terhampar, berlambang masjid megah idaman seluruh penghuni bumi. Kesempurnaan itu saat hidung, dahi, tangan, lutut, dan jemari-jemari kaki bersentuhan dengannya, dalam sujud yang khusuk, dalam balutan meminta ridho dan ampunan-Nya.

Muslimah, mari kita berpikir atas apa yang kita telah torehkan dalam hidup kita yang sempit, usia itu tidak ada yang mampu mendiktenya dari catatan ilahi, Lauh Mahfudz. Bisa jadi kaki-kaki yang mampu berlari itu terlebih dahulu menginjakan kakinya di tanah kuburan daripada kaki-kaki lamban itu. Semua tentang waktu setiap detiknya tetap menjadi misteri. Namun, keberkahan hidup itu mampu kita ukur dengan seberapa bahagianya kita hidup di dunia, karena kebahagian hakiki adalah segelintir kebahgian surga yang merasuk pada jiwa-jiwa perindu Sang Pencipta.

Add comment

Submit