Muslimahdaily - Siapa yang mengenal Imam Syafi’i. Beliau merupakan imam salah satu madzhab yang paling banyak diikuti oleh muslim seluruh dunia. kecerdasan serta ketaqwaannya tak lain diturunkan dari kedua orang tua Imam Syafi’i.

Sang ayah, yakni Idris bin Abbas Rahimahullah merupakan seorang muslim yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau merupakan muslim yang taat serta memiliki pribadi yang jujur.

Dikisahkan bahwa suatu hari Idris tengah menyusuri sungai dalam kedaan perut kosong. Di bawah pohon rindang, Idris menyadari ada sebuah buah delima yang hanyut dibawa air. Dengan spontan, Idris segera mengambil dan memakan delima tersebut.

Setelah hampir setengah buah delima itu dimakan oleh Idris, ia baru menyadari. Bahwa buah delima ini pasti ada yang memiliki. Tentu tanpa seizin pemiliknya, delima tersebut jadi haram apabila dikonsumsi.

Karena tak ingin makan sesuatu yang haram, maka Idris memutuskan untuk menyusuri hilir sungai. Idris hendak meminta restu dari sang pemilik agar delima yang sudah di dalam perutnya tersebut jadi halal.

Maka sampailah Idris di depan rumah yang memiliki pohon delima di pekarangannya. Sepanjang mencari, ia yakin bahwa rumah inilah satu-satunya yang memiliki pohon delima.

Tanpa ragu, Idris memberi salam hendak bertemu dengan sang pemilik rumah. Tak lama kemudian, munculnya seorang lelaki setengah baya dari dalam rumah seraya menjawab salam.

“Saya telah memakan buah delima Anda yang jatuh ke sungai. Apakah delima ini halal untuk saya? Apakah Anda mengikhlaskannya?” kata Idris membuka pembicaraan.

Mendengar penuturan Idris, orang tua tadi terdiam sebentar, kemudian barulah ia berkata.

“Tidak bisa semudah itu. Kamu harus bekerja menjaga dan membersihkan kebun saya selama sebulan tanpa digaji,” ucap pemilik rumah.

Syarat yang diajukan orang tua tadi sempat membuat Idris ragu. Namun, demi memelihara perutnya dari sesuatu yang haram, maka Idris menyanggupinya.

Setelah bekerja selama sebulan penuh tanpa digaji, Idris kembali menemui sang pemilik rumah.

“Aku sudah bekerja selama sebulan penuh, apakah Anda sudah menghalalkan delima yang sudah saya makan?” tanya Idris.

“Tidak bisa, ada satu syarat lagi. Kamu harus menikahi putri saya. Ia seorang gadis buta, tuli, bisu, dan lumpuh,” kata pemilik rumah justru menambahkan syarat tambahan.

Lagi-lagi Idris dibuat bimbang. Ia sempat goyah ketika diberitahukan kalau harus menikah dengan gadis yang seluruh indranya lumpuh.

Namun, hati kecilnya mendorong Idris mencari kehalalan makan yang sudah masuk ke dalam perutnya. Itulah niat awal Idris menemui sang pemilik rumah, mencari restu. Oleh karena itu, Idris segera mengiyakan syarat yang baru diajukan padanya.

Saat hari pernikahan tiba dan akad dilangsungkan, Idris diminta menemui pengantinnya di kamar. Ia lantas menuji sebuah kamar yang sudah dibertahukan sebelumnya. Saat pintu dibuka, ia justru menemui sosok perempuan yang cantik jelita.

‘Aku pasti salah kamar,’ pikirnya.

Maka Idris kembali menemui pemilik rumah dan mengatakan bahwa ia telah salah menemui istrinya. Ia menjelaskan bahwa perempuan yang ada di dalam kamar tersebut jauh dari yang digambarkan oleh sang mertua.

Namun berkali-kali mertua Idris meyakinkan bahwa ia tidak salah. Perempuan yang ada di kamar tersebut benarlah seorang istrinya. Matanya buta karena tidak pernah digunakan untuk bermaksiat. Telinganya tuli karena tidak pernah digunakan untuk mendengarkan gunjingan. Bibirnya bisu karena tidak pernah digunakan untuk mencibir. Terkahir, ia lumpuh karena tidak pernah pergi selain ke tempat ibadah.

Rupanya sang pemilik rumah melihat kejujuran Idris sejak awal. Ia semakin yakin dengan ketukunan Idris selama bekerja dengannya. Oleh sebab itu, ia tak ingin melepas Idris dan memilih pemuda tersebut untuk dijadikan menantu dan dinikahkan oleh putrinya, Ruqoyyah—riwayat lain menyebut Fatimah.

Dari pernikahan keduanya, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al Syafi’i.

Sumber: NU Online dan Tirto

Itsna Diah

Add comment

Submit