Muslimahdaily - Dikisahkan dari Qutaibah bin Sa’id kepada Ya’qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’d. Suatu ketika, datanglah seorang wanita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan agar dinikahkan.
“Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahan diriku padamu,” ujar si wanita.
Tawaran tersebut tak langsung dijawab oleh Rasulullah. Melainkan Rasulullah diam dan memandangi wanita tadi dari atas hingga bawah, kemudian beliau menunduk. Melihat Rasulullah belum memberikan keputusannya, si wanita pun duduk.
Dari situlah wanita dan para sahabat tahu bahwa Rasulullah tidak tertarik dengannya. Oleh sebab itu, salah satu sahabat kemudian berdiri dan berkata keinginannya untuk meminang sang wanita.
“Wahai Rasulullah, jika anda tidak berhasrat dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya,” ucap si pria.
"Apakah kamu punya sesuatu untuk dijadikan sebagai mahar?” jawab Rasulullah menyambut hajat sahabatnya.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si pria. Rupanya sahabatnya yang satu ini bukanlah orang yang berada. Namun, tak mau langsung memutuskan niat baik sang sahabat. Rasulullah bertanya lagi.
“Kembalilah pada kekeluargamu dan lihatlah apakah ada sesuatu?” tanya Rasulullah.
Lantas si pria pulang ke rumah hendak mencari-cari hartanya. Setelah kembali kepada Rasulullah, ia masih menjawab dengan perkataan yang tak jauh berbeda dengan sebelumnya.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-apa,” katanya.
“Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi,” jawab Rasulullah masih berusaha mengusahakan si pria dan wanita agar bisa menikah.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tidak memiliki apapun. Meskipun cincin emas aku tak punya. Tapi yang ada pada diriku ini hanyalah kainku ini,” jawab si pria sekembalinya dari rumah.
“Tidaklah kain yang ia punya itu kecuali hanya setengahnya,” timpal seorang sahabat.
“Lantas apa yang akan kamu lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu mengenakannya, makai a tidak akan memperoleh apa-apa. Dan bila ia memakainya, maka kamu tidak memperoleh apa-apa,” kata Rasulullah.
Si pria terduduk diam. Harapnya untuk menikah luruh. Akhirnya ia memutuskan untuk beranjak meninggalkan majelis. Tak berapa lama, secara tiba-tiba Rasulullah meminta sahabatnya yang lain guna memanggil pria tadi.
“Apakah kamu punya hapalan Al Qur’an?” tanya Rasulullah setelah pria tadi kembali.
“Ya, aku hapal surat ini dan ini,” jawab si pria sambil menghitung menggunakan jari-jarinya.
“Apakah kamu benar-benar menghapalnya?” tanya Rasulullah lagi dan langsung diiyakan oleh si pria.
“Kalau begitu pergilah. Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hapal dari Al Qur’an,” sabda Rasulullah.
Dari kisah inilah digambarkan betapa pentingnya sebuah mahar dalam pernikahan. Mahar merupakan harta yang diberikan oleh suami kepada istrinya. Memang biasanya mahar berupa harta yang dapat dimanfaatkan oleh istri.
Walau demikian, lewat kisah ini kita belajar bahwa hapalan Al Qur’an dapat dijadikan sebagai mahar pernikahan. Hal ini tentu saja dilakukan dengan beberapa kondisi. Pertama, Rasulullah mengusahakan agar calon suami memberikan harta sebagai mahar walaupun harta yang paling sedikit jumlah dan nilainya. Kedua, barulah setelah diketahui calon suami tidak memiliki harta sedikitpun, maka diperbolehkan memberika hapalan Al Qur’an sebagai mahar.
Selama calon suami masih memiliki harta, maka lebih diutamakan memberi mahar berupa harta walaupun sedikit. Ketika calon suami memiliki harta yang cukup banyak, maka hendaknya memberi mahar yang layak untuk istrinya.
Wallahu 'alam.