Muslimahdaily - Alkisah hiduplah seorang saudara kaya yang memiliki dua orang anak. Demi suatu kepentingan, anaknya tersebut diberi mandat untuk melakukan perjalanan ke India. Sementara itu di rumah, si saudagar kedatangan tamu seorang pria. Pria tersebut dikenal sebaai seorang ulam besar yang taat di kotanya. Tentu saja kedatangannya disambut baik oleh saudagar.

Tat kala sang ulama masuk ke dalam rumah, ia melihat seisi rumah dengan perlahan dan hati-hati, satu per satu. Kemudian ketertarikannya jatuh pada dua buah karpet. Karpet tersebut terlihat sangat indah dan tentu saja mahal harganya.

Sang ulama lantas mengutarakan keinginanannya untuk memiliki dua karpet itu. Namun bagi si saudagar kedua karpet tersebut merukan salah satu furnitur kesayangannya, sehingga sulit baginya melepas karpet indah itu untuk sang ulama.

“Aku akan memberikan apapun kepada engkau asal bukan dua karpet itu,” katanya pada ulama sopan.

“Tidak, aku hanya menginginkan karpet itu,” tegas sang ulama lagi.

Karena tak enak, si sudagar akhirnya memberikan satu karpet indahnya itu untuk dibawa pulang sang ulama.

“Jika engkau tetap bersekiras untuk memilikinya, maka aku akan memberikan satu karpet saja,” ucap saudagar.

Sedangkan jauh di sana, kedua anak si sudagar tengah berada di tengah laut pada perjalannya ke India. Mereka berdua ternyata naik kapal yang berbeda, tapi pada satu waktu yang sama. Tak disangka-sangka, badai datang menerjang kedua kapal anak-anak saudagar itu.

Para awak dan penumpang kapal, semuanya bingung dan khawatir. Karena badai tersebut, tak ada usaha yang dapat mereka lakukan, selain pasrah dan berserah diri kepada Allah.

Di tengah-tengah kegaduhan itu, munculnya seorang pria yang dari penampilannya saja semua orang tahu bahwa ia adalah seorang alim ulama. Di sisi ulama tersebut, terlihat sebuah karpet yang indah. Ternyata karpet itu dibuat untuk menyumbat bagian salah satu kapal yang dinaiki anak si saudagar. Tak lama, kapal itu pun dapat berlayar lagi dan penumpang di dalamnya selamat. Sementara kapal yang satunya tenggelam hingga nemewaskan seluruh penumpang termasuk salah satu anak si saudagar.

Setelah kembali lagi ke kampung halaman, si saudagar tentu merasa senang dan bersyukur salah satu anaknya dapat selamat, walaupun harus berduka lantaran anak lainnya celaka. Setelah cukup senang, si saudagar dibuat bingung karena anaknya yang selamat itu datang membawa karpet yang dahulu ia berikan kepada ulama yang datang ke rumahnya. Ia pun menanyakan perihal karpet tersebut pada sang anak.

“Ada kisah ajaib di balik karpet ini, wahai ayah,” ujar si anak tampak antusias.

“Kisah apa itu, wahai anakku?” tanya si saudagar makin penasaran.

“Seorang ulama datang menyelamatkan kami dengan cara menyumbat bagian kapal yang bocor dengan karpet ini,” kisah si anak.

“Jika kelak bertemu lagi dengan ulama itu, apakah engkau masih mengenali wajahnya?” tanya si saudagar.

“Ya, pasti aku akan dapat mengenalinya,” jawab si anak.

Waktu berlalu, suatu hari, si anak diajak ayahnya untuk berkunjung ke rumah salah seorang ulama. Ternyata ulama yang dimaksud adalah yang waku itu datang ke rumah saudagar dan meminta dua buah karpet indahnya. Melihat ulama tersebut, si anak sampai menangis dan berteriak.

“Demi Allah, ini adalah ulama yang aku maksud, wahai ayah,” kata si anak kemudian pingsan.

Setelah anaknya siuman, si saudagar berkata, “Kalau sudah tahu begini, aku akan berikan dua karpet itu pada engkau. Mengapa engkau tidak memberitahu saya sejak awal. Saya benar-benar menyesal.”

“Ya memang begitulah kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala,” jawab sang ulama dengan tenang dan bijaksana.

Demikianlah penyesal seorang saudagar pada sang ulama. Dari kisah ini, hendaknya dapat jadi pelajaran bagi kita untuk bisa lebih menghormati para ulama. Pada salah satu hadits Rasulullah, beliau bersabda bahwa firasat seorang mukmum bisa jadi sebuah berkah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Pertimbangkanlah firasat seorang mukmin. Karena (bisa jadi) dia (dapat) melihat (sebuah permasalahan yang belum terjadi) berkat pertolongan Allah” (HR. Tirmidzi).

Wallahu ‘alam.

Sumber: Islami.co

Itsna Diah

Add comment

Submit