Muslimahdaily - Tragedi pembantaian di Pulau Utoya pada 2011 silam menjadi sejarah kelam bagi Norwegia. Namun bagi Morten Ibrahim Abrahamsen, peristiwa itu menjadi awal baru lembaran hidupnya.

Morten merupakan salah satu pemuda yang tengah berkumpul dalam suatu acara partai politik di Pulau Utoya. Hingga tiba-tiba seorang pria menembakkan peluru secara brutal dan menewaskan teman-temannya. Jumlah pemuda yang tewas tak sedikit, melainkan 69 orang. 

Morten adalah salah satu pemuda yang berhasil selamat dari peristiwa mengerikan itu. Ia merupakan pemuda asal Hamar Norwegia yang masih sangat belia. Saat memeluk Islam, usianya pula baru menginjak 23 tahun.

Kepada Aftenposten, Morten mengisahkan perjuangannya mempertahankan hidup di tengah pembantaian yang mengerikan. Dengan ketakutan luar biasa dan rasa putus asa, ia bersembunyi dari pria bersenjata yang gila darah. Saat itu yang ia pikirkan adalah tuhan dan hidup setelah mati.

“Dia memiliki pengalaman religius saat putus asa mencoba bersembunyi dari pria bersenjata Anders Behring Breivik yang membunuh 69 orang di acara perkemahan musim panas Partai Buruh di mana Abrahamsen menjadi peserta,” dikutip dari Aftenposten.

Morten melihat darah berlumuran di mana-mana, mayat bergelimpangan yang wajahnya ia kenali sebagai teman-temannya. Morten mungkin akan bergabung bersama mereka jika si penjahat menemukannya. Ia terus bersembunyi dengan perasaan takut yang luar biasa. Ia putus asa dan pasrah, mungkin inilah hari kematiannya.

Namun ternyata ia selamat. Aparat segera datang dan meringkus pria jahat itu sebelum menemukan tempat persembunyian Morten. Ia dan beberapa pemuda lain selamat dari pembantaian mengerikan itu. Meski tragedi itu telah usai, Morten masih merasakan ketakutan dan keraguannya akan tujuan hidup.

Keesokan harinya, media Barat memberitakan bahwa dalang dibalik pembantaian mengerikan itu merupakan seorang muslim teroris. Berita tersebut muncul akibat isu islamophobia yang tengah berkembang di Barat, termasuk Norwegia. Padahal begitu konfirmasi dari pihak kepolisian dirilis, ternyata sang pelaku adalah seorang radikal yang justru memusuhi Islam dan memusuhi partai Buruh tentunya. Pasalnya, partai buruh mendukung regulasi pemerintah untuk menerima para imigran asal negeri konflik di Timur Tengah.

Singkat cerita, Morten kemudian tertarik pada Islam dan mulai mempelajari Al Qur’an. Ia jatuh hati pada risalah Rasulullah hingga tak butuh waktu lama untuk memutuskan berpindah agama. Maka di tahun yang sama saat tragedi Utoya terjadi, Morten pun bersyahadat.

Ia bersyahadat atas bantuan sebuah organisasi Muslim, Islam Net di kota Oslo. Organisasi itulah yang membantu para mualaf Norwegia yang jumlahnya semakin banyak dalam beberapa tahun terakhir. Tantangan mereka para mualaf di Norwegia pun tetap sama, yakni islomphobia.

Pun dengan Morten yang harus menghadapi tantangan tersebut. Ia menghadapi banyak penolakan dari keluarga dan teman. Mereka bahkan menganggap Morten telah mendapat paksaan dan intimidasi agar memeluk Islam. 

“Aku mendapatkan banyak perlawanan, termasuk secara terbuka, dari orang-orang yang berpikir bahwa aku tidaklah melakukan semua ini kecuali karena dipaksa berpindah agama,” tuturnya.

Namun semua tantangan dan kesulitan itu dihadapi Morten dengan lapang dada. Ia telah mantap berislam dan bertekad untuk terus mengimaninya. “Sekarang sudah empat tahun (sejak pembantaian dan ikrar syahadatnya) dan aku berkembang dengan agamaku. Aku menemukan ketenangan yang selama ini kucari,” kata Morten.

Jumlah mualaf Norwegia berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Menurut penelitian yang dilansir Aftenposten, jumlah warga asli Norwegia yang menjadi mualaf pada tahun 1990an hanya sekitar 500 orang. Namun saat ini, jumlah mereka lebih dari 3 ribu orang. Meski angka tersebut masih minoritas di tengah populasi Norwegia, namun angka pertumbuhannya sangat signifikan.