Muslimahdaily - Inilah Masjid Katanga. Masjid tertua yang berada di tepi Jalan Syekh Yusuf di garis batas Kota Makassar-Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Masjid ini merupakan saksi perjalanan, bagaimana Islam dapat masuk ke Sulawesi. Masjid ini telah berdiri selama lebih dari empat abad.

Masjid Tua Al Hilal Katangka adalah nama resmi yang tercantum di plang halaman masjid yang berlokasi di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Gowa, itu. Namun, masyarakat luas lebih mengenal masjid tersebut dengan nama singkatnya, yakni Masjid Katangka.

Katanga sendiri adalah jenis pohon yang dahulu kala banyak tumbuh di lingkungan sekitar masjid itu. Kayu katangka pula yang menjadi bahan pembuatan masjid yang berdiri tahun 1603 tersebut. Namun, pohon endemis yang kayunya dianggap sebagai kayu kehormatan oleh orang Makassar itu kini sudah sangat langka.

Dikutip dari laman National Geographic Indonesia, masjid ini telah dibangun pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabbia atau yang kemudian bergelar Sultan Alauddin. Sultan Alauddin adalah Raja Gowa pertama yang memeluk Islam dan mendukung penyebarannya ke seluruh Sulawesi Selatan.

Syiar Islam di Sulsel saat itu juga tak terlepas dari peran tiga sosok ulama asal Minangkabau, yakni Dato Ri Bandang, Dato Patimang, dan Dato Ri Tiro. Ketiganya mengislamkan banyak kerajaan di jazirah selatan Sulawesi, termasuk Gowa.

Melansir dari laman Republika, menurut Harun Daeng Ngella, pengurus masjid Katanga, masjid Katangka didirikan di lingkungan yang dulu masuk dalam kawasan benteng Istana Tamalate, pusat Kerajaan Gowa.

"Letak masjid berdekatan dengan istana raja dan wilayah ini dikelilingi tembok benteng. Namun, bangunan istana dan benteng sudah tak tersisa lagi," jelasnya.

Di sekeliling bangunan masjid ini juga terdapat sejumlah makam Raja Gowa dan keturunannya. Sekitar 500 meter arah selatan masjid terdapat pula kompleks makam Sultan Hasanuddin. Raja Gowa XVI yang merupakan cucu Sultan Alauddin itu adalah pahlawan nasional yang gigih melawan penjajahan Belanda pada abad ke-17.

Pernah menjadi benteng pertahanan

Masjid ini menjadi benteng pertahanan pada saat penjajahan Belanda terjadi. Inilah sebabnya dinding masjid dibuat dengan fitur khusus, yakni dinding yang berketebalan 1,2 meter.

"Pada masa itu, selain sebagai pusat peribadatan dan syiar Islam, masjid ini juga berfungsi sebagai benteng pertahanan semasa perang," ujarnya.

Selain itu, pintu masuk bangunan utama masjid memiliki luas 144 meter persegi. Pintu ini terletak di sisi timur. Terdapat dua pintu, tetapi hanya satu yang sehari-harinya difungsikan. Di sisi pintu utama itu tercantum prasasti kecil yang bisa dengan jelas terlihat oleh siapa pun yang memasuki masjid. Di bagian atas prasasti bertuliskan "Masjid Tertua di Sulsel", sementara di bagian bawahnya tertulis "1603".

Satu hal lain yang unik adalah sebuah ornamen kaligrafi di gapura kecil mimbar. Kaligrafi berhuruf Arab itu menggunakan bahasa Makassar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Harun sebagai berikut: "Mimbar ini dibuat pada hari Jumat tanggal 2 Muharam tahun 1303 Hijriah. Diukir oleh Karaeng Katangka bersama Tumailalang Lolo. Apabila khatib sudah berada di atas mimbar, kita tidak diperkenankan lagi berbicara masalah dunia".

Terdapat bentuk akulturasi dari bangunan masjid ini, yakni empat pilar utama masjid yang berbentuk silinder cembung ini ternyata mengadopsi gaya bangunan Eropa.

"Jadi, masjid ini memadukan berbagai gaya arsitektur, mulai dari Tiongkok, Eropa, Jawa, hingga lokal," kata Harun menjelaskan..

Terlepas dari usianya yang sudah sangat tua. Masjid ini masih terus beroperasi hingga sekarang. Masjid ini bahkan menjadi kenyamanan tersendiri bagi warga setempat. Baharuddin, salah satu warga setempat juga mengaku lebih khusyu saat beribadah di masjid ini.

"Karena itu, setiap kali berkesempatan lewat masjid ini, saya selalu usahakan mampir untuk shalat," jelasnya.

Ummi Indriana

Add comment

Submit