Muslimahdaily - Di tengah mudahnya mengakses informasi, tentu kini tak sulit mendapat berbagai kabar bahagia dari orang-orang terdekat. Salah satunya adalah berita lamaran.
Melamar adalah meminta atau meminang seseorang untuk menjadi pengantinnya. Seringkali, ini menjadi proses pertama yang dilakukan sebelum dua orang melangkah menuju pelaminan. Pihak yang dilamar harus memberi jawaban, baik ya atau tidak.
Umumnya kita sering melihat bagaimana proses seorang lelaki datang kepada orangtua wanita yang ingin ia persunting, untuk kemudian mengucapkan maksud baiknya. Meski begitu, dalam urusan melamar, Islam tidak membatasi yang boleh mengajukan lamaran hanya yang lelaki.
Ibunda Khadijah pun dulu yang pertama melamar Nabi Muhammad SAW. Salah satu kisah cinta paling fenomenal dalam sejarah Islam ini membuktikan bahwa Islam tidak melarang apabila seorang wanita ingin meminang laki-laki.
Berkaca dari kisah sahabat Nabi pula, dari Tsabit al-Bunani bahwa Anas bin Malik pernah bercerita, seorang wanita mendatangi Nabi Muhammad sallallahu ‘alahi wasallam kemudian bertanya. “Ya Rasulullah, apakah anda ingin menikahiku?”.
Mendengar pertanyaan itu, putri Anas bin Malik langsung berkomentar bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang tidak tahu malu. Namun, Anas dengan cepat membalas komentar sang anak, “Dia lebih baik dari pada kamu, dia ingin dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menawarkan dirinya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari 5120)
Lantas, bagaimana cara yang tepat bagi seorang wanita ketika hendak melamar pria? Perlu digarisbawahi, wanita boleh mengajukan diri untuk melamar seorang pria jika itu dilakukan dalam rangka kebaikan, misalnya karena ingin mendapatkan suami yang soleh, atau suami yang bisa mengajarkan agama. Artinya, bukan semata karena latar belakang dunia.
Ada dua cara yang bisa dilakukan. Cara pertama dengan menawarkan diri langsung ke yang bersangkutan. Untuk menjalankan cara ini, harus dipastikan jika lelaki yang diinginkan memang baik akhlaknya dan belum memiliki istri atau calon istri.
Untuk menerapkan cara pertama, kita dapat berkaca pada kisah wanita yang menawarkan dirinya kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Pada akhirnya Rasulullah memutuskan tidak menikahi wanita tersebut, kemudian datang seorang sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, jika anda tidak berkehendak untuk menikahinya, maka nikahkan aku dengannya.’ (HR. Bukhari 5030)
Sang sahabat pun segera diperintahkan untuk mencari mahar. Hadits ini menunjukkan bahwa sah saja ketika ada seorang wanita yang menawarkan diri untuk dinikahi lelaki yang dia harapkan bisa menjadi pendampingnya.
Cara kedua adalah dengan melalui perantara yang amanah. Jika seorang wanita malu menyampaikan secara langsung, ia bisa memilih orang lain yang bisa dipercaya seperti orang tua, saudara, atau teman dekat.
Ini seperti yang dilakukan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ketika putrinya Hafshah selesai masa iddah setelah ditinggal mati suaminya. Umar menawarkan Hafshah ke Utsman, kemudian ke Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
Semacam ini juga yang pernah dilakukan Khadijah radhiyallahu ‘anha, beliau melamar Muhammad sebelum menjadi nabi melalui perantara temannya, Nafisah binti Maniyah. Khadijah berani melamar Nabi karena keindahan akhlak yang dimiliki-Nya. Nabi yang setuju akhirnya didampingi Abu Thalib dan datang kerumah Khadijah untuk bertemu dengan keluarga dan melakukan lamaran secara resmi.
Pernikahan jelas merupakan ibadah dengan durasi yang paling lama. Adanya pernikahan bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah (damai), mawaddah (bahagia), dan rahmah (kasih sayang). Salah satu kemudahan yang Islam berikan adalah bagaimana lelaki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk memulai ibadah panjangnya itu.