Antara Hijrah dan Berbakti, Ini Kisah Tiga Pemuda di Zaman Nabi

Muslimahdaily - Berkali-kali Rasulullah didatangi pemuda. Mereka hendak berhijrah dan tinggal di negeri muslim bersama Rasulullah dan para shahabat beliau. Dengannya mereka bisa bermajelis menimba ilmu langsung dari Rasulullah, serta berjihad bersama sang nabi. Hanya saja, para pemuda tersebut memiliki hambatan yang sama, yakni orang tua.

Orang tua melarang mereka berhijrah bersama Rasulullah. Namun para pemuda itu tetap pergi berhijrah dan meninggalkan orang tua mereka. Kebaikan yang didapat setelah hijrah tentu sangat banyak.

Bukan hanya mengikuti Rasulullah, hijrah pula dapat menyelamatkan agama mereka dan turut serta membela agama. Karena itulah para pemuda tersebut memilih hijrah meski orang tua melarang.

Pemuda pertama menemui Rasulullah setelah memberanikan diri meninggalkan orang tua. Namun sebetulnya ia merasa sangat berat meninggalkan keduanya. Apalagi derai tangis ayah bunda sempat terdengar sang pemuda hingga menyayat hatinya.

Kepada Rasulullah, ia pun berkata, “Aku berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun membiarkan orang tuaku menangis,” ujarnya.

Rasulullah pun bersabda, “Kembalilah kepada keduanya, lalu buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis,” (HR. Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash). Sang pemuda pun kembali ke orang tuanya dan tak jadi berhijrah bersama Rasulullah.

Pemuda kedua mengalami hal sama dengan pemuda pertama. Ia bersiap-siap melakukan hijrah dan berjihad bersama Rasulullah. Tekadnya telah bulat. Ia bahkan tak meminta izin orang tuanya. Namun begitu meminta izin Rasulullah, sang nabi justru bertanya, “Apa orang tuamu masih hidup?”

Pemuda itu pun menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah lalu bersabda, “Maka pada keduanya, hendaklah engkau berjihad (yakni berbakti),” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Pemuda kedua tak mendapat izin dari Rasulullah untuk turut serta berjihad. Ia pun pulang dan melakukan birrul walidain sebagaimana perintah nabiyullah.

Pemuda lain pula pernah datang kepada Rasulullah. Seperti pemuda pertama dan kedua, ia pun ingin pergi bersama Rasulullah membela agama Allah, berhijrah sekaligus berjihad fi sabilillah. Dengan semangat membara, sang pemuda menemui Rasulullah dan berkata, “Aku berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad dengan mengharapkan pahala dari Allah.”

Rasulullah pun mengajukan pertanyaan, lagi-lagi tentang orang tua. “Apakah salah seorang di antara kedua orang tuamu masih hidup?”

Pemuda itu pun menjawab, “Masih, bahkan keduanya masih hidup.” Rasulullah pun bertanya lagi, “Apa kau menginginkan pahala dari Allah?”

Pemuda itu menjawab pasti, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu, lalu pergaulilah mereka dengan baik.” (HR. Muslim).

Kisah tiga pemuda menunjukkan betapa birrul walidain sangat utama di dalam syariat Islam. Rasulullah bahkan tak mengizinkan para pemuda tersebut untuk berhijrah, berbaiat, bahkan berjihad, jikalau harus meninggalkan orang tua.

Alasan Rasulullah melarang pun tidak menghalangi para pemuda tersebut mendapat pahala. Justru dengan berbakti pada orang tua, mereka mendapat pahala yang lebih besar karena birrul walidain merupakan salah satu amalan yang paling dicintai Allah.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah?’ Rasulullah bersabda, ‘Shalat pada waktunya.’ ‘Lalu apa lagi?’ Tanyaku. Beliau menjawab, ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Lebih lanjut, kutanyakan, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’,” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Hadits lain datang dari Abu Darda, Rasulullah bersabda, “Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad).

Dari Ibnu Umar ia menyampaikan hadits secara marfu’, “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Al Bukhari).

Add comment

Submit