Musliamhdaily - Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu ahli hadits yang terkenal. Beliau dikenal sebagai sosok ahli ibadah yang banyak mengahasbiskan waktunya di Mekah dan Madinah. Fudhail juga sangat peduli dan perhatian terhadap murid-murid.
Namun, di balik taat dan rasa takut Fudhail, ternyata terdapat masa lalu kelam. Walau masih jadi perdebatan keasliannya, ada hikmah berharga yang dapat diambil dari ceritanya.
Dikisahkan, Fudhail bin Iyadh dahulu merupakan seorang tukang begal atau istilahnya qathi al -thariq (pemutus jalan). Disebut demikian dikarenakan hampir setiap saat Fudhail melakukan aksinya di sebuah hutan yang terletak antara Abyurd dan Marwa. Saking seringnya, hutan tersebut jadi hutan yang paling ditakuti para musafir dan pedagang. Fudhail tidak segan merampas harta musafir dan pedagang untuk dipergunakan bersenang-senang. Sampai-sampai mereka saling berpesan agar tidak melewati area hutan tersebut.
Di tengah kehidupan kelamnya, Fudhail jatuh cinta pada seorang gadis yang ia jumpai. Ia tak pernah melewatkan kesempatan untuk melihat di gadis, terus menerus memikirkan sang gadis hingga terlupa akan perbuatan maksiatnya.
Cinta dan rindu Fudhail akan sang gadis semakin membuncah. Suatu hari, saking rindunya, ia berniat untuk mendatangi rumah sang gadis untuk melihat pujaan hatinya. Dalam perjalannya, ia membayangkan sang gadis akan menyambut kedatangannya dengan wajah yang sumringah.
Sesampainya di tujuan, ia segera mencari cara untuk masuk ke rumah sang gadis. Ia lalu memutuskan untuk naik ke atas tembok rumah itu. Lalu saat ia akan melompat, Fudhail mendengar suara seseorang membaca ayat Al Qur’an:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan banyak diantara mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16).
Saat itu, hatinya yang telah jatuh pada seorang gadis telah melembutka kerasnya jiwa Fudhail. Ayat Al Qur’an yang dilantunkan oleh orang shaleh telah menyentuh qalbunya. Fudhail tertegun, ia telah ditegur secara halus melalui ayat tersebut.
Lama terdiam, Fudhail terjatuh dan menangis. Ia sadar selama ini telah jauh dari Tuhan-nya. Maka dari itu, ia berteriak histeris seraya mengatakan, “Iya, Wahai Rabb! Sudah datang waktunya.”
Malam itu, kisah Fudhail yang sering berbuat maksiat telah usai. Perjalanan Fudhail yang baru dimulai.
Ia kemudian bermalam di suatu penginapan sebelum kembali ke rumahnya. Di penginapan itu, ia mendengar saatu rombongan tengah bermusyawarah soal rencananya berangkat di malam hari dan jalan mana yang akan dilalui.
Salah satu anggota rombangan berkata, “Jalan yang terdekat ada Fudhail. Kita khawatir dia merampok harta kita.” Kemudian yang lain berkata, “Sebaikknya kita menunggu pagi saja. Jalan tersebut tidak aman dari Fudhail.”
Fudhail yang tengah mendengar perundingan tersebut jadi menangis. Hatinya sesak. Betapa jahatnya ia, hingga orang-orang pergi menjauh darinya. Ia berkata pada dirinya, “Wahai diri yang jahat, celaka kamu dari siska Allah! Kamu telah membuat orang Muslim ketakutan. Inilah lidah-lidah mereka bersaksi atas kejahatanmu.”
Ia lantas menemui rombongan tersebut seraya berkata, “Allah telah membersihkan jalan dari Fudhail. Ini dia sudah bertaubat di antara kalian. Aku berharap kalian tidak menemuiku kecuali sedang berlindung dari Allah di Baitil Haram.”
Setelah itu ia berjalan ke Baitil Haram (Mekah) sambil merenungkan perbuatannya selama ini. Ia merasa selama ini dikirimkan hanya untuk menakut-nakuti orang Muslim. Fudhail berkata, “Wahai Allah, sungguh aku bertaubat kepadamu dan aku menjadikan taubatku berdampingan dengan Baitul Haram.”
Kejadian tersebut merubah Fudhail sepenuhnya. Ia menjadi orang yang taat hingga menjadi salah satu sufi besar dalam sejarah tasawuf. Dirinya juga dikenal sebagai sosok yang zuhud, warak, rajin beribadah, serta memiliki pengetahuan yang luas.
Pribadi Fudhail sering kali mengingatkan para sahabat akan dosa-dosanya. Hal itu lantaran Fudhail selalu tampak sedih ketika mengingat Allah dan Al Qur’an.
Ibrahim bin al Asy’asy berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang Allah agungkan dalam hatinya melebihi Fudhail bin Iyadh. Tatkala nama Allah disebut atau dia mendengar Al Qur’an maka tampak rasa takut dan susah pada dirinya dan kedua matanya mengalirkan air mata hingga orang yang dihadapannya merasa sangat kasihan. Dia selalu tampak susah dan berpikri keras.”
Abdullah bin Mubarak juga berkata, “Jika aku melihat Fudhail bin Iyadh maka dia memperbaharui rasa susahku (terhadap dosa-dosaku). Sehingga aku membenci diriku (karena dosa-dosaku).”
Kisah Fudhail ini telah banyak menjadi contoh bahwa orang jahat pun dapat berubah dan kembali pada fitrahnya menjadi hama yang taat. Semoga nikmat iman tak pernah tercabut dalam diri kita. Aamiin.