Muslimahdaily - Bagi umat Muslim, nama Al Azhar mungkin sudah tak asing lagi. Nama ini sangat lekat dengan Universitas Islam ternama di Mesir. Universitas Al Azhar nampaknya memang lebih dikenal daripada nama masjidnya. Padahal, keduanya saling berhubungan.
Masjid yang terletak di Kairo, Mesir ini merupakan salah satu masjid tertua di dunia. Melansir dalam laman Muslim Heritage, masjid ini dibangun oleh Arsitek bernama Jauhar as -Seqeli atas perintah Khalifah Fatimiyah, yakni Al Mu’iz Lidinillah pada 7 Ramadhan 362 H/972 Masehi. Jauhar jugalah arsitek yang membangun ibu kota Fatimiyah, Al Qahiro (Kairo) pada maa itu.
Al Mu’idz merayakan kemenangannnya atas Abbasiyah dengan membangun kota baru yang tak jauh dari Al Fustat. Dahulu, tradisi ini dilakukan oleh para pengusaha sebagai tanda kemenangan bagi mereka. Al Mu’iz pun mambangun sebuah masjid yang diberi nama Al Qahira pada tahun 972.
Kemudian namanya diganti menjadi Al Azhar, nama tersebut mengutip dari putri Rasulullah, yakni Fathimah az-Zahra. Nama tersebut juga berarti sebuha keindahan dan kemegahan. Seperti yang diketahui Dinasti yang cukup dikenal di Jazirah Arab dan Timur Tengah pada masa itu. Dinasti ini mengantu paham Syiah, sehingga masjidnya turut mengajarkan paham-paham tersebut.
Oleh putra Al Mu’iz, yakni Al Aziz, proyek tetap dipertahankan. Ia terkenal akan ambisinya dalam mengakomodasi reformasi yan gmenjadikan pendidikan sebagai hal yang utama. Dalam starteginya, ia mengubah masjid Al Azhar menjadi universitas pada tahun 988 dan membangun banyak sekolah termasuk universitas.
Awalnya, Universitas Al Azhar hanya berisikan 37 cendikiawan yang mengajarkan ilmu agama. Namun, selain sebagai tempat belajar ilmu teolog, universitas ini pun mulai berkembang dan mempelajari juga ilmu non-agama seperti ilmu seni dan sastra hingga ilmu kedokteran.
Banyak hal perubahan yang terjadi pada Masjid Al Azhar dari masa ke masa. Selain perubahan bentuk dan arsitektur, masjid ini pun pernah ditutup selama hampir 100 tahun pada tahun 1171 M. Pada masa itu, pengusaha Ayyubiyah menutup masjid tersebut karena Sebagian besar penduduk Mesir mulai menganut paham Sunni, masjid ini kembali dibuka pada tahun 1266 M oleh Mamluk Sultan Al Zaher Baybars dengan turut mengganti juga paham menjadi ajaran Sunni.
Arsitektur Masjid
Karena dikenal sebagai salah satu universitas bergengsi, para penduduk Mesir dan Muslim Dunia pun tertarik untuk datang. Di antara mereka, banyak para penguasa yang antusias dan mencoba untuk merubah bentuk masjid sebagai salah satu warisan mereka. karena hal tersebut, arsitektur masjid pun semakin jauh daripada bentuk aslinya.
( Foto: storymaps.arcgis.com )
Bagian tertua pada masjid ini ialah aula tempat shalat tanpa atap. Pada area ini terdapat lima lorong sejajar dengan dinding kiblat lama. Gaya ini terlihat juga pada masjid Al Qayrawan yang terdapat di Afrika Utara. Kemudian oleh pemerintahan Ottoman, pada tahun 1753, dinding kiblat lama dipindahakan dan aula tempat shalat diperluas ke arah timur.
Gaya arsitektur khas Fatimiyah lainnya dapat dilihat dari spandrel lengkung dan pandel jendela. Keduanya dihiasi oleh ukiran tanaman merambat dan berkelok yang disertai dengan motif pohon dan kaligrafi. Hiasan tersebut dpengaruhi juga oleh seni ukir khas Timur.
Saat masa pemerintahan Ottoman di Mesir pada abda ke-18, masjid diperluas. Penambahan sedikit mengecewakan para sejarahwan karena dianggap tidak menjaga bentuk asli masjid. Selain itu juga, perubahan yang dilakukan meliputi bagian makan, waduk, dan kelas-kelas yang mengelilingi area aula tempat shalat.
Masjid ini dikelilingi oleh lima menara yang berdiri kokoh. Menara tersebut dibangun secara bertahan pada tahun 1340, 1469, dan 1510.
Pada bagian barat Masjid, terdapat sebuah halamam yang tertata rapi dan kelilingi oleh portico serambi yang ditambahakan oleh Khalidah Al Hafiz pada tahun 1130an. Namun, bagian ini dan pintu masuknya sempat dihancurkan pada tahun 1798. Pada saat itu terjaid peralawan oleh mahasiswa dan pengemboman masjid oleh tentara Bonaparte. Walau akhirnya dipulihkan kembali oleh Mohammed Ali dan direnovasi pada tahun 1892, para sejarahwan kecewa karena hal tersebut justru menghancurkan sebagian besar bukti historitasnya.