Muslimahdaily - Setiap orang pasti menginginkan akhir yang baik dalam hidupnya. Kehidupan abadi yang tentram, damai dan bahagia. Hal ini bisa didapatkan oleh seorang muslim apabila ia mengerjakan amal saleh di dunia dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan ganjaran surga yang Allah janjikan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, ‘Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci (azwajun muthahharatun) dan mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Baqarah: 25).
Begitu banyak kenikmatan yang Allah tawarkan di dalam surga, tentunya untuk hamba-hamba yang Allah kehendaki. Salah satu diantaranya disebutkan bahwa akan ada para perempuan pendamping surga yang suci, terjaga dan indah dipandang mata.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam bukunya, “Surga yang Allah Janjikan” mengumpulkan 4 karakter perempuan pendamping penghuni surga, berikut di antaranya:
Maqshuratul Khiyam
Allah Ta’ala berfirman, “Bidadari yang dipinggit di dalam tenda-tenda (maqshuratun fil khiyam).” (Qs. Ar-Rahman:72). Maqshurat berarti ditahan atau dipingit.
Abu Ubaidah mengatakan, bahwa para bidadari itu tinggal di dalam kemah. Sedangkan Muqatil mengatakan bahwa bidadari ditahan atau dipingit di dalam kemah. Di situ ada makna lain, yaitu mereka ditahan atau dipingit bersama suami mereka, sehingga mereka tidak melihat kepada selain sang suami.
Pendapat Muqatil terebut sama dengan pendapat al-Farra yang mengatakan bahwa mereka hanya bersama suami mereka, mereka tidak menginginkan orang lain kecuali suami mereka, dan tidak melihat kepada selain suami mereka.
Kata “fil khiyam,” merupakan keterangan untuk para bidadari, bahwa mereka berada di dalam kemah. Artinya, mereka hanya akan berada di satu tempat dan tidak berpindah.
Allah melukiskan bidadari sebagai perempuan yang terjadi. Tetapi bukan berarti mereka tidak bisa keluar kamar. Kondisi mereka sama seperti para permaisuri raja yang terjaga. Mereka tak terhalang untuk bersenang-senang dan jalan-jalan. Mereka juga memiliki dayang-dayang yang mendampingi.
Mujahid berpendapat bahwa mereka membatasi hatinya hanya pada sang suami di dalam kemah yang terbuat dari mutiara.
Khairatun Hisan
“Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik (khairatun hisan).” (Qs. Ar-Rahman:70).
Khairat adalah jamak dari khairatun yang berarti baik. Sedangkan Hisan adalah jamak dari hasanah yang berarti rupawan. Khairatun terkait dengan kebaikan perilaku, sedangkan hasanah terkait dengan kecantikan wajah.
Waki’ meriwayatkan dari Sufyan, dari Jabir, dari Qasim ibn Abi Barrah, dari Abu Ubaidah, dari Masruq, dari Abdullah yang mengatakan “Setiap muslim mempunyai khairsh (bidadari yang baik dan cantik). Setiap khairah mempunyai satu kemah. Setiap kemah mempunyai empat pintu, yang dari situ berbagai hadiah dan karunia diberikan setiap hari. Tanpa kesedihan, tanpa bau busuk, tanpa bau kemenyan dan tanpa hal-hal menjijikan.”
Kawa’ib
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan. (Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya (Wa kawa’iba atraban)” (Qs. An-Naba: 31-33).
Kawa’ib adalah jamak dari ka’ib. Menurut Qatadah, Mujahid dan para penafsir al-Quran ka’ib berarti montok. Al-Kalabi mengartikannya dengan perempuan dengan buah dada yang membusung indah. Asal katanya adalah istidarah yang berarti bulat. Artinya buah dada mereka bulat seperti delima.
Hurun ‘ain
“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik..” (QS. al-Waqiah: 22-23).
At-Thabrani menuturkan sebuah riwayat dari Abu Bakar ibn Sahal ad-Dimyathi, yang diberitahu oleh Amr ibn Hisyam, dari Hasan, dari Ibunya, dari Ummu Salamah yang menanyakan kepada Rasulullah tentang arti “Hurun ‘ain” (Qs. Al-Waqiah:22).
Rasulullah bersabda, “Hurun berarti putih, ‘ain berarti mata yang bulat lebar.’”
Hurun adalah bentuk jamak dari kata Haura’. Ada juga yang menyebutnya Ahwar
Al-Asfahani mengatakan,
“Makna al-Huur, ada yang mengatakan, mata yang bagian putihnya lebih sedikit dibandingkan bagian hitamnya. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 135).
Imam as-Sa’di memberi penjelasan dengan lebih rinci,
“Mereka mendapatkan Hurun ‘Ain. Al-Haura’ adalah wanita yang matanya bercelak, indah, cantik, dan menawan. Sedangkan ‘In artinya matanya indah dan lebar. Keindahan mata pada wanita, termasuk tanda terindah kecantikannya.” (Tafsir as-Sa’di, hlm 991)
Sehingga pada intinya, kata Hurun ‘In adalah kata yang menggambarkan keindahan dan kecantikan bidadari.