Muslimahdaily - Ketika berkunjung ke suatu wilayah baru yang berpenduduk non-Muslim, tak sedikit dari kita yang kesulitan mencari hidangan halal. Hal tersebut juga sering kali dikarenakan sedikitnya restoran dan toko yang berlabel halal.
Jika sudah demikian, maka toko dan restoran yang dipilih kurang jelas halal-haramnya. Walaupun bahan dan daging yang digunakan masih halal, misalnya daging ayam, sapi, atau domba, namun seperti yang kita tahu hewan sebaiknya disembelih oleh muslim dan sambil menyebut nama Allah.
Lantas bagaimana seharusnya muslim bersikap ketika menghadapi situasi ini?
Sebenarnya, menyebut nama Allah ketika menyembelih hewan hukumnya sunnah dan bukan wajib, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Ibnu Qasim Al Ghazi, “Lima perkara yang disunnahkan ketika menyembelih. Pertama, menyebut nama Allah. Artinya, si penyembelih menyebut ‘bismillah’, dan paling sempurnanya adalah 'bismillahirrahmanirrahim'; seandainya dia tidak menyebut nama Allah maka tetap halal sembelihannya. (Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarîb al-Mujîb fî Syarh Alfâdhit Taqrîb, Beirut).
Lebih lanjut, mengenai siapa yang menyembelihnya, hal ini terdapat ayat dalam Al Qur’an yang memperbolehkan memakan hewan sembelihan non-Muslim, dalam hal ini adalah Ahli Kitab.
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS. Al Maidah: 5).
Ahli Kitab yang dimaksud, yakni orang Yahudi dan Nasrani (Kristen). Ibnu Katsir menafsirkan makna Ahli Kitab yang dimaksud adalah dikarenakan mereka percaya kepada Injil dan Taurat, bukan karena penyebutan nama Allah.
Dari sini, para ulama sepakat akan diperbolehkannya memakan yang suatu hal yang halal bagi Muslim dari Ahlul Kitab. Walau demikian terdapat perbedaan mengenai syarat kebolehannya.
Menurut ulama Hanifyah, diperbolehkan makan sembelihan dari Ahli Kitab dengan syarat metode penyembelihannya serupa dengan yang ditetapkan dalam Islam. Namun jika seorang muslim tidak tahu persis bagaimana proses penyembelihannya, maka boleh memakannya, tapi lebih baik ditinggalkan.
Menurut ulama Malikiyah, diperbolehkan makan sembelihan dari Ahli kitab dengan syarat benar-benar dalam rangka makan-makan, dan bukan untuk suatu ritual kepercayaan, seperti sesajian.
Menurut ulama Syafiiyah, diperbolehkan makan sembelihan dari Ahli Kitab secara mutlak, asalkan ketika penyembelihannya tidak menyebut nama siapapun, seperti Al Masih, atau untuk ritual keperayaan.
Menurut ulama Hambali, diperbolehkan makan sembelih dari Ahli Kitab jika disembelih atas nama Allah, namun jika sengaja meninggalkan nama Allah maka tidak boleh dimakan. Sementara bila benar-benar tidak mengetahui proses penyembelihannya, maka boleh dimakan.
Walau nampak jelas syarat diperbolehkannya seorang Muslim memakan hewan sembelihan Ahli Kitab, penting jika ia melihat petunjuk (qarinah) yang terdapat di sekitar atau hendaknya bertanya kepada penjual daging atau pemilih restoran mengenai kehalalannya. Jawaban penjual daging dan pemiliki toko menurut ilmu fiqih sudah cukup dijadikan sebagai pijakan.
Lebih lanjut bila toko daging atau restoran tersebut tidak berlabel halal dan berada di wilayah yang berpenghuni mayoritas non-muslim dan bukan ahli kitab, maka daging yang dijual tersebut hukumnya haram. Lantaran dikhawatirkan daging tersebut kemungkinan besar disembelih oleh selain ahli kitab, maka haram dikonsumsi. Namun berlaku sebaliknya jika berada di wilayah mayoritas muslim.
“Ketika ditemukan potongan daging pada sebuah cawan atau sobekan kain di wilayah yang tidak dihuni oleh orang Majusi, maka daging tersebut dihukumi suci. Sedangkan ketika daging tersebut ditemukan dalam keadaan dilempar (dibagikan) atau pada cawan atau sobekan kain di wilayah yang mana orang majusi (menjadi mayoritas) di antara orang Muslim, maka daging tersebut dihukumi najis. Sedangkan ketika orang Islam merupakan mayoritas (di wilayah tersebut) maka daging dihukumi suci, sebab daging tersebut diduga kuat merupakan sembelihan orang Islam, penjelasan ini disampaikan oleh Abu Hamid, al-Qadi Abu Tayyib, Imam Mahamili dan Ulama lainnya.” (Syekh Zakaria al-Anshari dalam Asna al-Mathalib).
Melansir dari laman NU Online, pada akhirnya jika tidak memungkinkan untuk melihat petunjuk dan menanyakan kehalalan daging, maka daging berstatus halal. Walau demikian, tindakan yang lebih bijak adalah menghindari memakan daging tersebut dan memilih menu lain yang tersedia. Karena daging itu sendiri berstastus barang syubhat yang dianjurkan untuk dihindari.
“Perkara halal itu jelas dan perkara haram itu jelas, diantara keduanya terhadap perkara syubhat yang tidak diketahui banyak orang, maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya.” (HR. Baihaqi).
Wallahu ‘alam.
Sumber: NU Online dan Rumah Fiqih.