Muslimahdaily - Bersedekah merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan. Bahkan dalam salah satu ayat, Allah memerintahkan agar umatnya menginfaqkan sebagian harta yang dicintainya.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfiman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Imran: 92).

Dalam ayat lain Allah menjanjikan akan melipatgandakan harta seorang hamba yang diinfaqkan di jalan Allah.

Allah berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 261).

Tentu melihat janji dan keutamaan sedekah di atas, sayang bila kita melewatkan ibadah sedekah tersebut. Namun apakah anjuran sedekah tersebut berlaku bagi tiap orang? Mengingat sedekah berkaitan erat dengan materil, bagaimana anjuran tersebut bagi orang-orang yang memiliki utang?

Pada hakikatnya, sedekah dan membayar utang memiliki status yang berbeda. Sedekah merupakan sunnah yang dianjurkan sementara membayar hutang merupakan hal wajib.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sedekah paling baik adalah melakukan sedekah dalam keadaan tercukupi, mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi.” (HR. Bukhari).

Tentang mana yang harus didahulukan antara sedekah dan membayar utang, Imam Bukhari menjelaskan lebih lanjut mengenai hadits di atas.

Beliau mengatakan, “Bab menjelaskan tidak dianjurkannya sedekah kecuali dalam keadaan kondisi tercukupi. Barangsiapa yang bersedekah, sedangkan dia dalam keadaan membutuhkan atau keluarganya membutuhkan atau ia memiliki tangguan utang, maka utang lebih berhak untuk dibayar daripada ia bersedekah, memerdekakan budak, dan hibah. Dan bersedekah ini tertolak baginya.” (Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari).

Kemudian Syekh Badruddin Al ‘Aini dalam kitab ‘Umdah Al Qari Shahih Al Bukhari, menerangkan bahwa ketika seseorang sedang memiliki utang, maka hal yang utama dilakukan adalah membayar utang tersebut daripada bersedekah, memerdekakan budak, dan menghibahkan harta. Hal ini lantaran seseorang harus mendahulukan kewajiban, dalam hal ini membayar utang dibangingkan melakukan sunnah seperti bersedekah.

Lebih lanjut, Syekh Khatib asy-Syirbini, salah satu ulama Syafi’iyah menjelaskan bahwa sedekahnya seseorang masih memiliki tanggungan wajib baginya justru menyalahi kesunnahan sedekah itu sendiri.

“Menurut pendapat ashah (yang kuat), haram menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi orang yang wajib dinafkahinya, atau menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi dirinya sendiri, sedangkan ia tidak tahan untuk menghadapi kondisi hidup yang mendesak itu, atau harta tersebut ia butuhkan untuk membayar utang yang tidak dapat diharapkan untuk dapat dilunasi (dari harta yang lainnya) seandainya ia bersedekah.” (Syekh Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj).

Syekh Khatib asy-Syirbini menambahkan, jatuhnya hukum haram tersebut dapat berbeda bila masih ada harta lain yang diharapkan dapat melunasi utang tersebut. Maka orang tersebut boleh bersedekah dari hartanya itu, selama tagihan utangnya belum jatuh tempo pembayaran.

Jatuhnya hukum yang berbeda juga datang dari Syekh Syamsuddin ar-Ramli yang menyebutkan, seseorang boleh bersedekah di saat memiliki tanggungan utang apabila harta yang disedekahkan itu adalah hal-hal remeh yang tidak begitu signifikan untuk digunakan sebagai komponen pembayaran utangnya.

“Keharaman ini tidaklah bersifat mutlak. Sebab tidak akan mungkin ada ulama’ yang berpandangan bahwa orang yang memiliki tanggungan, ketika ia bersedekah roti atau harta yang serupa, sekiranya ketika harta tersebut tetap maka ia tidak akan menyerahkan harta tersebut untuk pembayaran utangnya (karena terlalu sedikit), (tidak ada ulama yang berpandangan) bahwa menyedekahkan roti tersebut tidak disunnahkan. Karena yang dimaksud (tidak sunnahnya bersedekah ketika mempunyai utang) adalah menyegerakan untuk terbebas dari tanggungan lebih baik daripada melakukan kesunnahan dalam skala umum.” (Syekh Syamsuddin ar-Ramli dalam Nihayah Al Muhtaj).

Pada akhirnya, sedekah tidak melulu soal harta dan meteril, bisa saja berupa jasa ataupun sedekar menebar kebaikan kecil seperti tersenyum. Janganlah kita kehilangan gairah untuk bersedekah lantaran tidak memiliki harta.

Rasulullah bersabda, “Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi).

dan,

“Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, walaupun itu berupa cerahnya wajahmu ‎terhadap saudaramu.” (HR. Muslim).

Wallahu ‘alam.

Sumber: NU Online.

Itsna Diah

Add comment

Submit