Muslimahdaily - Walau sudah dilakukan hampir puluhan tahun, hukum seputar memperingati maulid nabi masih jadi perdebatan bagi beberapa Muslim. Ada yang mengatakan bahwa memperingati kelahiran Nabi bukanlah hal yang biasa dilakukan oleh Sang Rasul sehingga termasuk dalam bid’ah. Sementara sebagian lain mengatakan bahwa tidak ada dalil yang melarang memperingati hari kelahiran Rasulullah.
Lantas, bagaimana sebenarnya hukumnya?
Melansir dari laman resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), hukum diperbolehkannya memperingati maulid nabi mempunyai dalil yang kuat. Berdasarkan sejarah saja, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingati hari penting dalam hidupnya. Rasulullah berpuasa setiap hari Senin guna memperingati peristiwa saat dirinya menerima wahyu untuk pertama kali.
Bahkan puasa hari Senin memiliki keutamaan karena hari tersebut merupakan hari Rasulullah menerima wahyu untuk pertama kali sekaligus hari kelahirannya.
“Dari Abi Qotadah al-Anshori Radhiyallahu 'anhu sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah menjawab, 'Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku'”. (HR. Muslim).
Memperingatinya mendapat berkah
Di samping itu, memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad akan membawa keberkahan bagi kita. Sebagai contoh, Abu Lahab, salah satu paman nabi yang hingga akhir hayatnya kafir dan terus menerus menggagalkan dakwah nabi kelak akan mendapat keringanan di neraka setiap hari Senin. Hal tersebut lantaran, saat hari kelahiran Sang Nabi, Abu Lahab sangat gembira. Saking gembiranya, ia sampai memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibatuh.
Dari kisah tersebut, kita belajar bahwa bila Abu Lahab yang jelas seorang kafir dan Allah laknat saja diberi keberkahan karena rasa bahagianya tersebut. Maka hendaklah kita sebagai muslim tak perlu lagi untuk merayakannya.
Lebih lanjut, perayaan yang dianjurkan para ulama bukan cuma sekedar berkumpul lantas bersenang-senang saja. Melainkan melakukan berbagai aktivitas yang dapat menambah rasa kecintaan kita kepada Sang Nabiyullah, misalnya menceritakan sirah Nabi dan membaca shalawat.
Mengutip laman Islami.co, Imam Ibnu Abidin Rahimahullah, seorang Imam mazhab Hanafi berkata,
“Maka berkumpul untuk mendengarkan kisah pemilik mukjizat, semoga kepadanya tercurah rahmat yang paling utama penghormatan paling sempurna, termasuk ibadah yang paling utama karena di dalamnya terkandung mukjizat dan banyak membaca shalawat.”
Kemudian Imam Al Suyuthi Rahimahullah dalam Al Hawi Li al Fatawa, menuliskan,
“Menurut saya asal perayaan maulid Nabi, yaitu manusia berkumpul, membaca Al Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia.”
Termasuk bid’ah hasanah
Kembali pada hukumnya, memang benar bahwa perayaan maulid nabi termasuk ke dalam bid’ah. Namun, bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah hasanah, yakni sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi maupun para sahabat, tetapi perbuatan itu memiliki nilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits.
Ulama kalangan mazhab Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Al Haitam Rahimahullah mengatakan,
“Kesimpulannya bahwa bid’ah hasanah telah disepakati kesunnahannya oleh para ulama. Melakukan maulid dan berkumpul untuk memeriahkan maulid juga termasuk bid’ah hasanah.”
Pada akhirnya hukum merayakan maulid Nabi diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan oleh para ulama. Hal ini karena maulid Nabi dapat membawa banyak berkah dan menambah rasa cinta seorang umat kepada Rasulullah.
Wallahu ‘alam.