Muslimahdaily - Dalam salah satu ceramahnya yang ditayangkan pada channel youtube NU Online, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang akrab disapa Gus Baha, mengupas secara mendalam tafsir Surat Ad-Dhuha dari kitab Al-Ibriz karya Kiai Bisri Mustofa. Gus Baha memberikan pencerahan mengenai salah satu ayat yang sering disalahpahami, sekaligus mengungkap logika tauhid yang terkandung di dalamnya sebagai jawaban atas keraguan kaum kafir pada masa itu.

Meluruskan Makna "Tersesat"

Salah satu poin krusial yang dibahas adalah ayat ke-7, "Wa wajadaka ḍāllan fa hadā" (Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk). Gus Baha menegaskan bahwa menafsirkan kata "ḍāllan" (ضَالًّا) sebagai "tersesat" dalam konteks Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam adalah sebuah kekeliruan fatal.

Mengacu pada tafsir Kiai Bisri, Gus Baha menjelaskan bahwa makna yang paling tepat untuk "ḍāllan" dalam ayat ini adalah "tidak tahu" atau "belum mengetahui."

"Kiai Bisri menafsirkan kata 'dola' (ضالاً) dalam Surat Ad-Duha sebagai 'tidak tahu' atau 'belum mengetahui', bukan 'tersesat'," terang Gus Baha.

Argumentasi ini didasarkan pada sifat ma'shum (terjaga dari dosa) yang melekat pada diri seorang nabi. Mustahil bagi Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam untuk pernah berada dalam kesesatan. Gus Baha memberikan contoh penggunaan kata yang sama dalam ayat lain, di mana "dola" merujuk pada kondisi kehilangan arah atau ketidaktahuan, bukan sebuah kesesatan akidah atau moral.

Jawaban Cerdas Atas Keraguan Kaum Kafir

Surat Ad-Dhuha turun sebagai respons langsung terhadap cemoohan kaum kafir Quraisy. Mereka menyebarkan isu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam telah ditinggalkan oleh Tuhannya karena wahyu sempat terhenti untuk beberapa waktu. Allah Subhanahu wa ta'ala kemudian menurunkan surat ini untuk membantah tudingan tersebut dan menegaskan kembali kasih sayang-Nya kepada Rasulullah.

Gus Baha menekankan pentingnya menjawab sebuah kritik, bahkan dari orang kafir sekalipun, jika jawaban tersebut bersifat objektif dan mengandung kebenaran. "Kebenaran (hak) akan selalu menang melawan kebatilan, seperti cahaya yang selalu mengalahkan kegelapan," ujarnya.

Nikmat Terbesar yang Wajib Disyukuri

Lebih lanjut, Gus Baha membahas ayat terakhir surat ini, "Wa ammā bini'mati rabbika fa ḥaddiṡ" (Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu syukuri). Banyak orang mengira nikmat yang dimaksud adalah harta atau jabatan. Namun, Gus Baha meluruskannya.

Nikmat terbesar yang wajib untuk diceritakan dan disyukuri, menurutnya, adalah Al-Qur'an dan status kenabian itu sendiri. Menceritakan nikmat materi seperti kekayaan justru berpotensi menimbulkan rasa iri dan dengki pada orang lain. Sebaliknya, menyebarkan ilmu dan petunjuk dari Al-Qur'an adalah bentuk syukur yang paling mulia.

Gus Baha juga menceritakan sebuah riwayat di mana Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam sempat merasa "cemburu" pada mukjizat Nabi Sulaiman yang bisa mengendarai angin. Namun, Allah mengingatkan bahwa nikmat yang diterima Nabi Muhammad diangkat dari seorang yatim, miskin, dan "tidak tahu" menjadi seorang yang terpelajar dengan Al-Qur'an adalah nikmat keseharian yang jauh lebih agung dan fundamental. Ini adalah pengingat bahwa iman dan ilmu adalah anugerah tertinggi yang melampaui segala kemewahan duniawi.