Muslimahdaily - Setiap hari kita disajikan informasi mengenai virus corona. Televisi, portal berita hingga media sosial pun tak henti-hentinya menayangkan virus yang tengah mewabah dunia ini.

Saking seringnya kita terpapar kabar mengenai virus corona, maka tak aneh bila akhirnya kita merasa cemas. Faktanya, di saat pandemik seperti ini, kecemasan lebih cepat menyebar dibandingkan virus itu sendiri. Akibat cemas tersebut, tak sedikit yang akhirnya seolah-olah mengalami gejala virus COVID-19. Dalam ilmu psikologi, gangguan ini disebut juga dengan psikosomatis.

Psikosomatis akibat cemas

Melansir dari laman Klikdoker, psikosomatis menurut dr. Rio Aditya adalah gejala yang secara fisik muncul tanpa adanya gangguan yang sebenarnya. Biasanya dipicu oleh faktor psikologis seperti cemas, stres, dan depresi.

Rasa takut atau cemas adalah respon normal yang akan timbul ketika seseorang merasakan ancaman. Saat tubuh mengidentifikasi sebuah ancaman seperti virus corona, maka tubuh akan meresponnya dengan merasakan gejala-gejala dari virus tersebut. Seseorang akan merasa batuk, pilek, demam, hingga sesak. Padahal hal tersebut muncul karena disebabkan dari rasa panik dan cemas.

Menyebar tanpa kontak sosial

Tak seperti virus itu sendiri, kecemasan akan virus corona menyebar tanpa adanya kontak sosial. Melansir dari Psychology Today, Michael Wheaton dkk melakukan sebuah penelitian pada tahun 2012 mengenai respon publik terhadap panik pandemik flu babi. Penelitian tersebut menemukan bahwa pandemik meningkatkan kecemasan dan perubahan perilaku.

Penelitan tersebut juga menemukan bahwa tingkat kecemasan tertentu dapat memiliki dampak positif pada perilaku melindungi diri sendiri. Namun, pada sebagian orang, kecemasan berlebihan dapat menyebabkan tekanan dan perilaku menghindari tak beralasan hingga mampu menggangu aktivitas sehari-hari.

Selain dapat menyebabkan perilaku berlebihan seperti terlalu sering mencuci tangan, terlalu cemas juga mampu menciptakan sugesti bahwa mereka sudah terjangkit virus tersebut, dalam hal ini flu babi.

 

False Positive: Bahaya dari Self-diagnosis

Gejala yang terus menerus dipublikasikan dapat berdampak memicu rasa takut akan tertularnya penyakit yang sedang dibahas. Wheaton dkk berpendapat bahwa publikasi tersebut dapat mengarah pada mass psychogenic illness atau penyakit psikogenik massal, yakni seseorang yang sehat akan salah mengartikan sensasi tubuh yang tidak serius seperti sesak napas dan pusing sebagai gejala dari penyakit yang beredar.

Wheaton dkk menjelaskan bahwa kesalahan diagnosis ini dapat menyebabkan kewaspadaan yang berlebihan, meningkatkan kecemasan, dan perilaku melindungi diri sendiri yang berlebihan.

Menyeimbangkan informasi dengan inspirasi dapat membantu seseorang yang merasa kewalahan dan putus asa akan sebuah pandemik. Mereka akan melihat masalah wabah sebagai gambaran yang lebih besar.

Batasi informasi mengenai virus dan lakukan kegiatan lain seperti hobi untuk mengalihkan rasa cemas. Selain itu, lakukanlah anjuran yang beredar, jaga imun tubuh dengan mengonsumsi suplemen dan vitamin. Olahraga rutin juga dapat membantu tubuh agar tetap bugar.

Untuk membuktikan bahwa gejala yang timbul bukan dikarenakan virus corona, seseorang dapat menggunakan termometer bila terserang demam. Jika memang tubuh menunjukkan gejala-gejala virus corona, segera lakukan protokol yang berlaku.

Itsna Diah

Add comment

Submit