Keluarga Berdarah Suku Muslim Uighur, Mantap Belajar Islam di Istanbul

Muslimahdaily - Sejauh apa pun burung elang terbang, ia akan kembali ke sarangnya. Demikian pula dengan pemikiran keluarga Shkur Abliz. Meskipun mereka terpisah jarak ribuan kilometer dari kampung kelahirannya, mereka tetap menjaga budaya dan kebanggaan sebagai garis keturunan suku Muslim Uighur dari Xinjiang, Cina.

Shkur Abliz merupakan anak berumur delapan tahun yang mengungsi ke Istanbul, Turki dari konflik yang melanda di dataran Cina sejak masih balita bersama orang tuanya.

Kini di Turki, bersama sang ibu, Asya Abliz, Shkur mencoba mempertahankan kebudayaan Muslim Uighur  yang mengalir dalam darahnya.

Meski berbeda negara, Shkur Abliz beruntung masih bisa mempelajari bahasa Uighur  dan Al – Quran dengan baik di pusat bahasa Tangnuri, Istanbul.

Padahal, di negara kelahirannya Cina, bahasa Uighur termasuk bahasa yang dilarang untuk dipelajari.

Tidak hanya dari segi bahasa, Shkur Abliz juga mempelajari adat istiadat dan tradisi Suku Muslim Uighur yang luhur. Ia diajarkan bagaimana cara menghormati orang yang lebih tua, hari – hari libur Islam, serta cara bersikap santun selayaknya suku Uighur .

Menurut sang ibu, Asya Abliz, ia bertekad untuk terus mempertahankan identitas asli anaknya sebagai bangsa Uighur, meskipun ia tumbuh di negara asing.

Ia terpaksa melarikan diri dari Cina sejak Shkur Abliz berumur 3 tahun. Keluarga besarnya yang merupakan suku Muslim Uighur  bermukim di daerah Karamay, sebuah kota yang kaya minyak di distrik Xinjiang, Cina.

Karena migrasi besar – besaran suku Uighur  ke Turki, menyebabkan kota Diaspora segera dipenuhi para imigran Uighur. Mereka bisa berbicara bahasa Turki yang bertuliskan bahasa Arab, namun tetap mempertahankan bahasa dan tradisi mereka hingga kini.

Kota Diaspora sendiri merupakan persentase kecil dari populasi suku Uighur, menurut peneliti antropologi di University of Sussex.

Sekolah Uighur  di Istanbul

Menurut direktur sekolah Uighur Ilim Market Vakfi di Istanbul, Abdulgani Kutubi, sekolahnya bersedia menerima anak – anak imigran Cina mulai dari usia 6 tahun.

Bahkan, beberapa sekolah juga menerbitkan buku – buku pelajaran dengan bahasa Uighur  agar lebih mudah dipahami anak – anak.

Untuk mempertebal bahasa dan tradisi suku Muslim Uighur  di dalam jiwa siswa didiknya, pihak sekolah mengadakan Pekan Uighur . Di mana selama 2 hari yitu Sabtu dan Minggu, anak – anak diminta untuk membaca puisi atau berbicara dengan bahasa Uighur .

Anak – anak suku Uighur  hanya datang ke sekolah 5x seminggu. Termasuk hari Sabtu pagi untuk belajar dan melestarikan bahasa nenek moyang mereka.

“Meskipun kami ada di Turki, tetapi kami ingin menjalani hidup selayaknya suku Uighur ” kata Shkur.

Suatu saat nanti, Shkur punya impian besar bisa kembali ke kampung halamannya di Xinjiang dengan damai. Setidaknya jika mimpi itu terwujud kelak ia sudah mahir berbahasa Cina seperti anak – anak lain yang berada di sana.

Add comment

Submit