Muslimahdaily - Di antara lembaran emas sejarah Islam, terselip sebuah saga cinta yang begitu manusiawi, penuh liku, namun berakhir dengan keindahan iman. Ini adalah kisah putri sulung Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Zainab, bersama belahan jiwanya, Abu Al-Ash bin Ar-Rabi'. Kisah mereka bukan sekadar romansa, melainkan pelajaran abadi tentang kesetiaan yang tak lekang oleh waktu, kesabaran yang menembus batas ujian, dan cinta yang akhirnya menemukan jalan pulang ke haribaan-Nya.
Bagi kita, para Muslimah modern, kisah ini menjadi cermin. Cermin tentang bagaimana memegang teguh iman di tengah badai perasaan, dan percaya bahwa setiap penantian dalam ketaatan akan berbuah manis.
Mekar di Bawah Langit Mekah, Teruji oleh Cahaya Wahyu
Jauh sebelum risalah kenabian turun, cinta Zainab dan Abu Al-Ash sudah bersemi. Mereka adalah sepupu yang tumbuh bersama, saling mengenal hati dan budi. Pernikahan mereka pun direstui dan disambut hangat oleh Muhammad kala itu belum diangkat menjadi Rasul yang begitu menyayangi Abu Al-Ash, menantu pertamanya.
Abu Al-Ash adalah sosok pemuda Quraisy yang ideal: pedagang terpandang, jujur, dan berakhlak baik. Rumah tangga mereka adalah potret keharmonisan, lengkap dengan tawa dua buah hati, Ali dan Umamah. Namun, kebahagiaan itu segera diuji ketika cahaya Islam mulai menerangi Mekah.
Zainab, dengan keteguhan hati seorang putri Nabi, menyambut seruan tauhid tanpa keraguan. Ia menjadi salah satu yang pertama mengimani kenabian ayahnya. Di sinilah persimpangan jalan itu dimulai. Abu Al-Ash, meski sangat mencintai istrinya dan menghormati sang mertua, memilih untuk tetap memegang teguh agama nenek moyangnya. Sebuah pilihan yang menjadi awal dari ujian terberat dalam cinta mereka.
Perpisahan Pahit di Gerbang Iman
Turunnya perintah Allah yang melarang seorang Muslimah terikat pernikahan dengan laki-laki musyrik menempatkan cinta mereka di ujung tanduk. Ujian ini memuncak dalam peristiwa Perang Badar. Abu Al-Ash, terikat oleh kaumnya, maju ke medan perang di barisan Quraisy, melawan ayah mertuanya sendiri.
Takdir berkata lain, ia kalah dan menjadi tawanan perang.
Dari Madinah, Zainab mengirimkan tebusan untuk membebaskan suaminya. Bukan emas atau perak, melainkan sebuah kalung yang sangat berharga kenang-kenangan dari ibundanya, Khadijah Al-Kubra. Saat melihat kalung itu, hati Rasulullah tersentuh. Kenangan akan istri tercintanya membayang.
Dengan penuh hikmah, Rasulullah menawarkan kepada para sahabat untuk membebaskan Abu Al-Ash dan mengembalikan kalungnya. Para sahabat setuju. Namun, ada satu syarat yang harus dipenuhi: Abu Al-Ash harus merelakan Zainab untuk hijrah ke Madinah, menyusul kaum Muslimin.
Dengan berat hati, Abu Al-Ash menyanggupinya. Inilah perpisahan yang didasari oleh syariat. Zainab memulai perjalanan hijrahnya yang penuh bahaya, sementara Abu Al-Ash kembali ke Mekah dalam kekafirannya. Mereka terpisah, ruang dan waktu, iman dan keyakinan. Namun, adakah cinta mereka ikut terpisah?
Penantian Setia yang Berbuah Surga Dunia
Ukhti, bayangkanlah posisi Zainab. Bertahun-tahun hidup dalam penantian, membesarkan anak dalam kesendirian, dan terus mendoakan suaminya dari kejauhan. Kesetiaannya tak pernah goyah. Begitu pula Abu Al-Ash, meski dikelilingi banyak wanita Quraisy, hatinya tetap tertambat pada Zainab.
Enam tahun setelah perpisahan itu, takdir mempertemukan mereka kembali. Dalam sebuah perjalanan dagang, kafilah Abu Al-Ash dicegat oleh pasukan Muslim. Ia berhasil melarikan diri dan mencari perlindungan di Madinah. Siapakah yang ia tuju? Zainab. Ia meminta perlindungan kepada wanita yang masih sah menempati relung hatinya.
Zainab, tanpa ragu, memberikan perlindungan dan mengumumkannya di hadapan Rasulullah dan para sahabat setelah salat Subuh. Inilah momen yang membuka jalan bagi hidayah. Setelah mengembalikan seluruh harta titipan para pedagang Mekah, Abu Al-Ash kembali ke Madinah. Bukan lagi sebagai musyrik yang mencari suaka, melainkan sebagai seorang Muslim yang datang untuk bersyahadat.
Hatinya telah terbuka. Ia datang kepada Rasulullah, menyatakan keislamannya, dan memohon untuk bisa kembali merajut rumah tangga bersama Zainab. Dengan penuh kebahagiaan, Rasulullah mengembalikan putrinya kepada Abu Al-Ash. Cinta yang terpisah karena iman, kini bersatu kembali dalam naungan iman yang sama.
Pelajaran Cinta dari Putri Sang Nabi
Kisah Zainab dan Abu Al-Ash adalah lautan hikmah bagi kita semua:
Iman adalah Prioritas Utama: Cinta boleh jadi fitrah terindah, namun ketaatan pada syariat Allah adalah pondasi yang tak bisa ditawar. Zainab mengajarkan kita untuk memilih Allah di atas segalanya.
Kesabaran dan Doa adalah Senjata Terbaik:
Zainab tidak membenci, tidak mencaci. Ia bersabar, taat pada perintah ayahnya, dan tak pernah berhenti mendoakan suaminya. Inilah kekuatan sejati seorang istri salihah.
Kesetiaan Sejati Melampaui Batas Fisik: Meski terpisah jarak dan keyakinan, hati mereka tetap saling menjaga. Ini adalah bukti bahwa kesetiaan adalah komitmen jiwa, bukan sekadar kebersamaan raga.
Hidayah adalah Hak Prerogatif Allah:
Seberapa pun kita mencintai seseorang, hanya Allah yang mampu membolak-balikkan hatinya. Tugas kita adalah berikhtiar lewat doa dan akhlak yang mulia.
Pada akhirnya, kisah mereka mengajarkan bahwa cinta sejati bukanlah yang tanpa ujian, melainkan yang mampu melewati setiap ujian dengan iman sebagai kompasnya. Semoga kita bisa meneladani keteguhan dan kesabaran Zainab dalam setiap episode kehidupan kita.