Muslimahdaily - Dahulu di era Nabi Musa, hidup seorang pria saleh yang memiliki seorang putra. Namun ia menghadapi kematian saat putranya masih kecil. Sebelum menemui ajal, pria itu sempat pergi ke hutan belantara dan membawa satu-satunya harta yang bisa diwariskan untuk putranya.
Harta tersebut berupa seekor sapi betina yang kuning cerah lagi mulus kulitnya, tak pernah digunakan untuk membajak, dan tak pernah ditunggangi. Pria saleh itu pun menitipkan harta satu-satunya itu kepada Sebaik-baik Penjaga. “Ya Allah, Saya titipkan anak sapi ini kepada-Mu untuk anakku kelak jika dia dewasa,” doanya.
Setelah pria saleh itu meninggal, Allah pun menjaga harta tersebut. Sapi betina hidup di dalam hutan dengan makanan dan minuman yang selalu terpenuhi. Sapi itu pula terlindungi dari pemburu sehingga tak ada yang dapat menangkapnya. Si sapi menunggu putra sang pria saleh yang menjadi anak yatim sepeninggal ayahnya.
Si anak yatim tumbuh besar menjadi putra yang sangat saleh lagi berbakti. Menggantikan peran ayahnya, ia menjaga dan mencari nafkah untuk ibunda. Setiap malam, ia membagi waktu menjadi tiga. Sepertiga untuk shalat, sepertiga untuk duduk di samping ibunda, dan sepertiga lagi untuk istirahat. Saat siang ia harus mencari kayu bakar, lalu memikulnya dan menjualnya ke pasar. Meski lelah di siang hari, ia tetap meluangkan waktu di malam hari untuk menemani ibunya dan shalat malam. Demikian keseharian si anak yatim bertahun-tahun lamanya hingga ia tumbuh menjadi pemuda yang saleh.
Suatu hari, sang ibu pun akhirnya mengungkapkan kepada putranya tentang warisan suaminya berupa sapi betina. Ibunda berpikir putranya telah cukup dewasa untuk mendapatkan warisan tersebut. Apalagi ia pun merasa kasihan melihat kelelahan putranya hari demi hari. Ibunda pun memanggil putranya seraya berkata,
“Sesungguhnya ayahmu telah mewariskan anak sapi betina untukmu yang dia titipkan kepada Allah di hutan. Maka berangkatlah! Berdoalah kepada Rabb Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Nabi Ishaq agar mengembalikan anak sapi tersebut kepadamu. Peganglah lehernya. Ciri-ciri sapi itu, jika engkau melihatnya, kamu membayangkan seakan-akan sinar matahari memancar dari kulitnya. Dia diberi nama Al Mudzahhabah karena keindahan dan kejernihannya.”
Sesuai perintah ibunda, pemuda berbakti itu pun pergi ke hutan. Dengan bantuan Allah, ia pun dengan mudah menemukan sapi tersebut. Si pemuda lalu menyebut nama Allah, Rabb Nabi Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, sebagaimana yang dikatakan ibunda. Serta merta sapi itu segera menengok ke arah pemuda shaleh lalu berjalan mendekatinya. Sapi itu berhenti tepat di hadapannya. Si anak berbakti itu pun menuntunnya dengan memegangi lehernya.
Dari hutan, sang pemuda terus menuntun si sapi pulang ke rumah tanpa menungganginya. Padahal jarak hutan ke rumah sangat jauh dan pemuda saleh itu nampak lelah. Dengan keajaiban dari Allah, si sapi betina mampu berbicara pada pemuda saleh itu, “Wahai anak yang berbakti, tunggangilah aku, hal itu akan lebih meringankanmu.”
Anak berbakti itu pun menjawab, “Sesungguhnya ibuku tidak memerintahkanku menunggangimu. Beliau berkata, ‘pegang lehernya’.” Masya Allah betapa taatnya si pemuda saleh pada ibunda.
Sapi itu pun berkata lagi, “Demi Rabb Bani Israil, jika kau menunggangiku, niscaya kau tak dapat menguasaiku selamanya. Padahal sungguh, jika kau memerintahkan gunung untuk tercabut dari dasarnya dan berjalan bersamamu, niscaya ia akan melakukannya karena baktimu pada ibumu.”
Pemuda itu pun hanya terdiam dan melanjutkan perjalanan. Sampailah ia di rumah dan segera membawa sapi itu ke hadapan ibunda. Si ibu lalu berkata, “Sesungguhnya kau seorang yang fakir, tak memiliki harta. Kau kerepotan mencari kayu bakar di siang hari dan qiyamul lail di malam hari. Oleh karena itu, pergilah anakku. Juallah sapi ini untuk meringankan bebanmu.”
“Saya jual dengan harga berapa, ibu?” tanya si pemuda saleh lagi berbakti.
Ibunya pun menjawab, “Tiga dinar. Kau jangan menjual tanpa pertimbanganku.”
Anak berbakti itu pun segera pergi ke pasar.
Allah kemudian mengutus malaikat untuk menguji seberapa besar bakti si pemuda saleh pada ibunda. Malaikat tersebut menjelma menjadi manusia kemudian menawar harga sapi pada si pemuda berbakti. Namun harga yang ia tawar justru lebih tinggi.
“Saya beli enam dinar, tapi kau tak perlu meminta persetujuan ibumu,” ujar malaikat.
“Seandainya kau memberiku emas seberat sapi ini pun, aku tak akan menjualnya kecuali dengan ridha ibuku.”
Pemuda itu pun pulang membawa sapinya, lalu menceritakan pada ibunya tentang pria yang menawar harga lebih tinggi. “Kembalilah, dan juallah sapi itu dengan harga enam dinar berdasarkan ridhaku,” ujar sang ibu.
Pemuda itu pun kembali ke pasar membawa sapinya. Namun ternyata malaikat menguji yang kedua kalinya. “Saya akan membelinya seharga 12 dinar,” ujarnya.
Pemuda itu lagi-lagi menolak. Ia pun kembali kepada ibunya dan menceritakan kepada ibunda tentang pria yang menawar harga lebih tinggi. Si ibu pun lalu berkata, “Sesungguhnya yang mendatangimu adalah malaikat dalam bentuk manusia. Ia datang untuk mengujimu. Jika ia mendatangimu lagi, katakan padanya, ‘Apakah kau memerintahkan kami untuk menjual sapi ini atau tidak?’.”
Dengan taat tanpa bertanya, pemuda berbakti itu pun menuruti kata-kata ibunya. Malaikat dalam rupa manusia itu pun berkata, “Kembalilah pada ibumu, sampaikan padanya, biarkan sapi ini. Sesungguhnya Nabi Musa bin Imran akan membelinya untuk mengungkap korban pembunuhan di kalangan Bani Israil. Jangan kau menjualnya kecuali dengan kepingan dinar yang memenuhi kulitnya.”
Si pemuda saleh pun menyampaikan pesan itu pada ibunda. Keduanya kemudian menahan si sapi dan tidak menjualnya. Tak lama kemudian, orang-orang dari Bani Israil mencari sapi yang ciri-cirinya hanya dimiliki sapi si pemuda berbakti. Pemuda itu pun menjualnya dengan harga seperti yang dipesankan malaikat. Ia pun mendapat kepingan dinar yang teramat sangat banyak dari menjual sapi warisan sang ayah. Si anak berbakti mendapat balasan dari Allah atas budi baiknya pada ibunda.
Inilah sapi betina yang kisahnya diabadikan dalam Al Qur’an, yakni Al Baqarah (sapi betina). Nabi Musa memerintahkan Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi untuk mengungkap pembunuhan seseorang dengan motif harta warisan. Namun Bani Israil berlama-lama menuruti perintah sang nabi karena mereka dahulu pernah menyembah patung anak sapi.
Bukannya melaksanakan perintah Nabi Musa, Bani Israil justru terus saja bertanya, sapi seperti apa yang harus disembelih. Keesokan hari, mereka bertanya lagi, demikian terus menerus hingga akhirnya mereka mendapat ciri-ciri sapi yang sulit dicari. Padahal jika mereka menuruti dari awal, justru kesulitan tak mereka dapatkan. Pasalnya Nabi Musa tak merinci jenis sapi yang harus disembelih. Artinya sapi apa saja bisa disembelih. Namun karena Bani Israil terus bertanya jenisnya, Nabi Musa pun merinci dengan detail jenis sapi yang harus disembelih.
Akibat sifat pembangkangan Bani Israil, mereka pun kesulitan mencari sapi betina dengan ciri detail yang ternyata dengan takdir Allah, sapi itu dimiliki anak yatim yang berbakti pada ibunya. Saat sapi itu disembelih, sebagian dagingnya dipukulkan Nabi Musa ke mayat korban pembunuhan. Mayat itu pun bangkit, atas izin Allah, dan mengungkap siapa pembunuh sebenarnya. Setelah itu, si mayat pun kembali mati.