Muslimahdaily - Alkisah ada seorang laki-laki tua yang bernama Syeikh Abdullah yang memiliki sebuah kebun yang dipenuhi dengan buah-buahan yang amat banyak.

Syeikh Abdulullah menanam dan merawat benih-benihnya dengan giat. Penduduk Dharawan sering kali memakan hasil kebun itu dengan cuma-cuma. Oleh karena itu, kebun tersebut dinamai sebagai ‘surga’.

Saat masa panen tiba, Syekh Abdullah senantiasa mengeluarkan zakat berupa buah-buahan kepada para fakir. Karena itulah, kebunnya menjadi berkah dan menghasilkan buah berlipat-lipat kali.

Tentu warga Dharawan dan fakir senang dengan perilaku Syekh Abdullah, namun tidak dengan beberapa anaknya. Mereka tak suka apa yang dilakukan ayahnya. Menurut anak sulung dan bungsunya, mereka akan hidup kaya apabila sang ayah tidak membagikan buah-buahnya tersebut.

Suatu hari, ketiga anak Syeikh Abdullah berkumpul saat sang ayah pergi ke luar rumah. Ketiga berdebat mengenai kebun sang ayah dan para fakir yang sering kali datang untuk makan di kebun mereka.

“Lantas mengapa para fakir tersebut tidak bekerja sendiri dan makan dari hasilnya?” tanya si anak sulung di tengah perdebatan mereka.

“Sebagian mereka bekerja, tapi Allahlah Yang Maha Pemberi rizki. Dia meluaskan rizki kepada sebagian dari kita dan menyempitkannya kepada sebagian yang lain untuk menguji kita, juga untuk mengetahui dengan nyata siapa yang menunaikan hak Allah dan siapa yang tidak menunaikannya,” jawab si anak tengah.

“Kamu seperti ayah kita, dan nampaknya penyakit pada keluarga kita sudah merupakan penyakit keturunan,” kata si bungsu.

Malam harinya, datang seorang fakir ke hadapan Syeikh Abdullah. Ia hendak meminta sejumlah buah-buahan untuk anaknya yang sedang sakit dan menangis tiada henti. Setelah diberi beberapa buah, fakir tadi mendoakan agar Allah memberikan keberkahan pada kebun milik Syeikh Abdulullah.

“Karena doa seperti inilah Allah memberikan keberkahan kepada kita pada kebun dan buah-buahan kita, wahai anak-anakku,” ucap sang ayah seraya menatap anaknya satu persatu.

Si sulung dan bungsu masih tak suka dengan perbuatan sang ayah selama ini. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan harta, bukannya kebaikan. Sementara sang ayah berpendapat bahwa sejatinya sedekah dan zakat dapat menolong mereka dari panasnya api neraka.

“Bahkan aku akan bertaubat sebelum mati dan Allah akan mengampuni. Dengan demikian, aku dapat menikmati harta di dunia dan surga di akhirat,” ucap si sulung dengan percaya diri.

Meski sang ayah tidak mendengar perkataanya, tapi Allah yang Maha Mendengar tau bahwa anak sulung tersebut taubat bukan karena niat taubat itu sendiri, melainkan niat untuk bermaksiat.

Ketika malam hari datang, setelah selesai menunaikan shalat dan doa, sang ayah menghembuskan napas terakhirnya. Allah menakdirkan pemilik kebun ‘surga’ itu meninggal beberapa saat sebelum panen tiba.

Saat kembali dari pemakaman ayahnya, ketiga saudara itu berkumpul hendak membicarakan rencana mereka saat kebun ‘surga’ itu panen. Si sulung dan bungsu sepakat mereka akan menjual isi kebun tersebut dan tidak membagikannya ke para fakir. Sementara si anak tengah mengingatkan wasiat ayahnya agar menyedekahkan dan memberikan buah-buahan tersebut ke para fakir.

“Kita akan memanen pada malam hari dan memetik buah-buahan itu sebelum subuh, sebelum orang-orang fakir dan miskin itu masuk ke dalam kebun. Apabila orang-orang fakir itu datang pada pagi hari, mereka tidak akan mendapatkan buah-buahan itu sedikitpun. Mereka kemudian kembali tanpa membawa buah-buahan dan kita dapat melakukan apa yang kita inginkan,” ucap si sulung melempar ide.

“Saudaraku, takutlah kamu kepada Allah. Mengapa kalian tidak bertasbih kepada Allah dan memanjatkan puji dan syukur kepada-Nya atas nikmat yang telah Dia karuniakan kepada kalian dan memohon ampunan kepada-Nya?” terang si anak tengah, ia hendak menyadarkan kedua saudaranya tersebut.

“Kami akan memohon ampunan tapi setelah panen nanti,” ucap si bungsu.

Setelah lama berdebat, ketiga saudara tersebut akhirnya pergi ke kebun saat malam hari. Mereka pergi dengan diam-diam agar tidak ada seorang fakirpun melihat gerak-geriknya.

Di tengah perjalanan, masing-masing mereka telah membayangkan apa yang akan dilakukan mereka terhadap kebun sang ayah. Mereka dapat mengambil untung sebanyak-banyaknya dan memperbanyak jumlah kebun mereka.

Ketika kira-kita telah dekat dengan kebun mereka, tiba-tiba muncul kegelapan yang sangat pekat hingga salah satu dari mereka tidak dapat melihat tangannya sendiri. Ketiganya seakan tersesat di antara kegelapan.

“Kita tidak menjadi orang yang tidak mendapat hasil apa-apa. Allah telah mengharamkan kita dari buah-buahan di kebun itu. Tidakkah sekarang kalian melihat lokasi kebun itu telah menjadi tanah yang gosong. Sekarang Allah telah menghukum kita, sehingga ‘surga’ yang ayah telah susahpayah itu pun terbakar habis dan menjadi arang. Bukankah telah aku katakana kepada kalian hal itu akan terjadi jika kalian tidak bertasbih dan bersyukur kepada-Nya?” ucap si anak tengah di tengah kepanikan mereka.

“Aduhai, celakalah kita. Sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampai batas lagi dzalim. Mudah-mudahkan Allah akan memberi pengganti kepada kita dengan kebun yang lebih baik daripada kebun kita ini. Sesungguhnya kita telah bertaubat kepada Allah dan sesungguhnya kita telat bertaubat kepada Allah dan sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita,” sesal mereka.

Sungguh celaka ketiga saudara tersebut. Semoga kita terhindari dari perilaku bakhil. Aamiin.

Itsna Diah

Add comment

Submit