Sosok Luar Biasa Dibalik Nama Besar Imam Al Bukhari

Muslimahdaily - Nama besar Imam Al Bukhari tak akan pernah lekang dalam ingatan muslimin. Sebagai pembawa hadits-hadits shahih dari Rasulullah, Imam Bukhari bak permata di dalam agama Islam. Ialah anugerah yang Allah berikan untuk umat ini.

Dibalik besarnya nama Al Bukhari, ada sosok yang amat sangat berpengaruh dalam mendidiknya menjadi seorang imam besar. Ialah sang ibunda. Sejak kecil, imam yang lahir dengan nama Muhammad bin Ismail tersebut berada dalam asuhan dan didikan luar biasa dari ibunda.

Muhammad lahir dalam keadaan buta. Ia tumbuh besar tanpa melihat dunia dan tak bisa bermain dengan teman sebayanya. Karena kebutaannya itu pula, Muhammad Al Bukhari tak dapat membaca buku. Bahkan tak hanya tuna netra, ia juga berstatus sebagai anak yatim. Ayahnya meninggal sejak ia masih kecil.

Sang ibunda begitu sedih melihat putranya tak dapat melihat dan tak memiliki ayah. Ia pun mendidik Muhammad kecil dengan kesabaran yang luar biasa. Muhammad yang tak bisa membaca kemudian diarahkan ibunda untuk menghafal. Hasilnya di luar dugaan. Sekali mendengar suatu kalimat, ia dapat merekamnya dalam otak. Dengan cepat, Al Bukhari pun menjadi hafidzul qur’an. Ia menghafal apa yang ibunda bacakan untuknya.

Ibunda juga terus berdoa agar Allah menyembuhkan mata putranya. Ia yakin tak ada yang mustahil bagi Allah. Seorang yang buta dari lahir pun dapat diberi penglihatan oleh-Nya. Atas harapan itulah sang ibunda terus saja berdoa dan berdoa. Ia giat beribadah baik siang ataupun malam. Tanpa lelah, ia terus mendoakan putranya, Muhammad Al Bukhari bertahun-tahun lamanya, agar Allah memberikan penglihatan kepada sang putra tercinta.

Hingga suatu malam, sang ibunda mendapat mimpi menakjubkan. Di dalam mimpinya, ia bertemu sang khalilullah Nabi Ibrahim alaihis salam. Beliau berkata pada ibunda Al Bukhari, “Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan kepada anakmu karena engkau banyak menangis (yakni banyak berdoa)”.

Sang ibunda sangat gembira. Begitu bangun di pagi hari, segera dilihatnya sang putra. Ternyata benar, Allah telah menyembuhkan kedua mata Muhammad Al Bukhari. Allah mengijabah doa ibunda yang tak pernah henti dan tak pernah putus asa. Ia pun bersyukur gembira. Saat itu usia Al Bukhari menginjak 10 tahun.

Muhammad pun mulai belajar menulis dan membaca. Meski matanya sudah bisa melihat, ternyata kemampuan menghafalnya tak ada yang berubah. Karena itulah ia mulai menghafal kitab-kitab yang ia baca. Hanya dengan sekali baca, ia langsung menghafal seluruh isi buku dengan sempurna tanpa ada kata yang tertinggal.

Sejak itu pula, yakni ketika ia sudah bisa melihat, sang ibunda mengenalkan Muhammad Al Bukhari pada ulama-ulama setempat. Ia pula kemudian memasukkannya ke madrasah. Saat itulah Al Bukhari mulai tertarik pada hadits-hadits Rasulullah dan menghafalkannya.

Pengalaman kecilnya itu diceritakan sendiri oleh Imam Al Bukhari, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah, saat itu usiaku sekitar 10 tahun, hingga aku keluar dari madrasah itu, aku mulai belajar kepada Ad Daakhili dan ulama lainnya.”

Al Bukhari sempat diejek teman-temannya karena ia baru menghafal dua buah hadits. Siapa sangka ia kemudian menjadi orang yang paling banyak menghafal dan mengumpulkan as sunnah. Imam Al Bukhari mengisahkan, “Aku pernah belajar kepada para fuqaha Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majlis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka.

Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku, “Berapa banyak (hadits) yang telah engkau tulis?” Aku menjawab, “Dua (hadits)” Orang-orang yang hadir pun tertawa. Lalu salah seorang syaikh berkata, “Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat nanti justru dia yang menertawakan kalian.”

Meski Muhammad Al Bukhari telah belajar di bawah bimbingan ulama, sang ibunda tetap ambil peran dalam mendidiknya berakhlak mulia. Dengannya, Al Bukhari tumbuh menjadi remaja yang tak hanya faqih dalam agama, namun juga berakhlakul karimah dan sangat giat beribadah serta beramal shaleh. Meski bakat menghafalnya luar biasa, ia pula tak pernah sombong.

Para guru Al Bukhari lah yang paling tahu bakatnya. Di usia 17 tahun, salah satu gurunya, yakni Muhammad bin Salam Al Bikandi mempercayakan Al Bukhari untuk mengoreksi tulisan-tulisannya. Saat itu, Imam Bukhari memang sudah banyak sekali menghafal kitab-kitab ulama di luar kepala. Bahkan sejak Al Bukhari masih remaja, sudah nampak benih-benih ulama dari dirinya.

Lalu di usia 18 tahun, Al Bukhari menemani ibunda dan saudaranya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sang ibunda lalu merelakan putra tercintanya untuk tetap tinggal di Makkah untuk mencari ilmu hadits. Ibunda Al Bukhari tahu betul bakat dan kemampuan Al Bukhari yang extraordinary. Karena itulah ia menyuruh putranya mencari ilmu langsung di negeri Rasul.

Maka dimulailah perjalanan Al Bukhari dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih. Bukan perjalanan singkat dan bukan hal yang mudah untuk mengumpulkannya. Imam Al Bukhari pernah berkata, “Aku menghafal seratus ribu hadits shahih, dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”

Hadits-hadits shahih lalu beliau kumpulkan dalam sebuah kitab fenomenal sepanjang masa dan kitab rujukan utama ilmu hadits. Bahkan kitabnya disebut sebagai nomor dua setelah Al Qur’an. Kitab itu dikenal dengan Shahih Al Bukhari. Seakan beliau adalah bagian dari rencana Allah dalam menjaga syariat Islam.

Add comment

Submit