Muslimahdaily - Alkisah, di sebuah kebun binatang, hiduplah seekor gajah yang bernama Bonar. Layaknya gajah pada umumnya, ia bertubuh tinggi besar, memiliki telinga lebar, belalai panjang, gading yang kuat dan kaki-kaki yang kekar. Namun, ada satu hal yang membedakannya dengan gajah-gajah pada umumnya—ia sangat populer di kalangan para pengunjung.
Mulai dari anak kecil sampai kakek-nenek sekalipun, tidak ada yang tidak terhibur setelah melihat kelakuan Bonar. Bagi mereka, Bonar adalah bintang utama di kebun binatang kecil itu. Entah apa yang bisa menyebabkan demikian, padahal masih banyak ratusan binatang yang jauh lebih lucu dan lebih unik dari Bonar. Tapi, bukan itu yang menjadi permasalahannya.
Bonar menjadi besar kepala.
Tiap hari ia selalu mendengungkan pujian pada diri sendiri dan hinaan terhadap binatang lainnya. Di matanya, semua binatang yang ada di kebun binatang itu hanyalah binatang malang yang terpenjara di selnya masing-masing, tanpa kasih sayang dari induknya, perhatian penuh dari pawangnya dan rasa cinta dari para pengunjung.
Suatu ketika, ia bertemu dengan seekor semut. Sebagai seekor gajah, ingatan Bonar sangat kuat. Ia tidak akan pernah melupakan rupa setiap semut yang pernah dijumpainya selama ini. Gajah langsung tersadar, bahwa semut tersebut merupakan semut yang pertamak kali dilihatnya. Berbeda dengan Bonar yang cuek, semut itu segera mengucapkan salam kepada Bonar.
Bonar diam. Semut itu pikir, Bonar tidak mendengarnya. Sehingga, ia mendekati kakinya dan mengucapkan salam lagi. Bonar tetap diam, kemudian menjauhi semut itu.
Ternyata, semut itu adalah semut yang pantang menyerah. Seketika, ia mendaki kaki Bonar dan bergelayutan di telinganya. Di sana, dengan suara yang lantang, ia memberi salam.
“Diam kau! Kau pikir aku tuli?!” umpat Bonar.
“Kalau anda mendengarku, kenapa anda tidak menjawabnya, tuan? Bahkan Tuan Singa saja mau menjawab salamku,” ucap si semut sambil melambaikan tangan kepada singa yang ada di kandang seberang.
“Haruskah? Kau hanyalah seekor semut, jadi untuk apa aku menjawab salam dari mahluk inferior sepertimu?”
Semut bingung, “Inferior? Mohon maaf, tuan, dari sebelah mana saya ‘inferior’, ya?”
Bonar tertawa, “Kau ini buta, ya? Apa kau tidak melihat tubuhku? Apa perlu aku perlihatkan padamu sebuah cermin besar agar kau dapat membandingkan kegagahanku dengan kelemahanmu?”
Semut itu terdiam, Bonar melanjutkan omongannya.
“Lihatlah belalaiku yang panjang! Aku dapat mengambil buat-buah enak dan lezat dari pohon-pohon ini!” ucapnya sambil memakan buah dari pohon itu. “Lihat juga gadingku yang kuat ini, aku bisa saja merubuhkan pohon ini dengan mudah!” Bonar menubrukkan gadingnya ke pohon tadi, tapi ia tidak mengerahkan kekuatan penuhnya, sehingga hanya buah-buahan, ranting-ranting dan serpihan kayu pohon itu saja yang berjatuhan. “Dan lihat juga kaki-kakiku yang kekar ini, bumi bergonjang-ganjing dengan setiap hentakannya," ucapnya.
Tiba-tiba, Bonar terjatuh dan meraung kesakitan. Ternyata, ada sebuah serpihan kayu yang menancap di kaki Bonar. Bonar mencoba mengambilnya tetapi ia tidak bisa, karena serpihan itu begitu kecil dan tak terjangkau dengan belalainya. Melihat Bonar yang tersiksa, si semut segera berlari dan memanggil kawan-kawannya untuk membantunya. Akhirnya, serpihan yang menancap di kaki Bonar dapat dicabut dan Bonar dapat berjalan lagi.
Setelah situasi terkendali, semut itu mendekati Bonar.
“Anda tahu, Tuan Gajah. Seumur hidup, saya tidak pernah sedikit pun merasa inferior maupun superior,” ucapan semut mengundang perhatian Bonar. “Saya yakin, semua mahluk ciptaan Allah memiliki tujuan yang berbeda-beda. Bisa jadi, tujuan anda di bumi ini untuk menghibur para manusia, sedangkan saya untuk membantu anda mencabut serpihan tadi.”
Bonar membisu. Matanya sayu, menyesali kesombongannya selama ini, “Kau sangat bijak, semut kecil.”
Semut itu tersenyum, “Tidak, tuan, saya hanya dapat melihat dari sudut pandang yang berbeda saja.”