Muslimahdaily - Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar duka bahwa salah satu dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, telah meninggal dunia. Merupakan kebiasaan Rasulullah untuk melayat dan mengantar jenazah hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya. Apalagi sahabat yang satu ini termasuk orang yang amat sholeh, menambah alasan bagi beliau untuk bertandang menghadiri pemakamannya.
Setelah proses penguburan selesai, Rasulullah bergegas ke rumah sang almarhum, untuk menghibur keluarganya yang ditinggalkan, agar tetap bertawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di sana, Rasulullah mendapati keadaan istri sahabatnya dalam keadaan gundah. Rasulullah pun bertanya, “Adakah suamimu meninggalkan suatu wasiat?”
Sang istri menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memahami kalimat-kalimat terakhir yang ia ucapkan.”
“Memang, apa yang ia ucapkan?” tanya Rasulullah.
“Bahwasannya suamiku berkata, ‘Seandainya lebih jauh, seandainya yang baru, seandainya semuanya’. Hanya tiga kalimat itu yang kami dengar terus menerus hingga detik terakhirnya. Sampai saat ini, kami masih belum mengerti, apakah itu sekedar rintihan sakit atau gumamannya saat tak sadarkan diri.”
Rasulullah tersenyum, membuat orang-orang di rumah itu heran. “Sungguh saudaraku, apa yang dikatakan suamimu bukan gumaman, melainkan kata-kata penyesalan. Namun, penyesalan itu adalah bukti bahwa suamimu termasuk dari para ahli surga,” maka, Rasulullah pun mulai bercerita.
Ketika sahabat itu sedang bergegas ke masjid untuk memenuhi panggilan sholat Jum’at, ia mendapati seorang tuna netra yang juga pergi untuk sholat Jum’at. Sebab tidak ada yang menuntun, langkah kaki tuna netra itu terseok-seok dan tersandung oleh bebatuan. Merasa iba, sahabat itu segera menggendong tubuh orang itu dan mengantarnya hingga ke masjid.
Ternyata, Allah menghargai amal sholehnya ini dengan pahala dan memperlihatkan balasannya di sakaratul mautnya. Maka dari itu, ia menyesalinya dengan berkata, “Seandainya lebih jauh.” Bila jaraknya semakin jauh, tentu pahala yang diperolehnya lebih besar.
“Wahai Rasulullah, bagaimana dengan perkataannya yang lain?” tanya sang istri.
Rasulullah berkata, “Adapun ia berkata demikian, sebab melihat amalan sholehnya yang lain.”
Tepat keesokan harinya, sahabat itu berjalan menuju masjid untuk menunaikan sholat Subuh. Cuaca di kala itu begitu dingin, memaksanya untuk mengenakan mantel hangat dua lapis; mantel baru dan lama. Dalam perjalanan, ia menemukan seorang kakek renta yang hampir mati kedinginan. Ia pun segera menyelimuti kakek itu dengan mantel yang lama dan melanjutkan perjalanannya ke masjid mengenakan mantel baru.
Sekali lagi, Allah memperlihatkan balasan pahalanya melalui malaikat Izrail. Hal ini kembali membuat sahabat itu menyesal, “Seandainya yang baru,” sebab pahala yang ia peroleh akan jauh lebih besar bila ia memberikan mantel yang baru.
Wajah istri sahabat Rasulullah itu terlihat semakin cerah, gundah itu semakin sirna. “Bagaimana dengan kalimat terakhirnya, wahai Rasulullah?”
Rasulullah berkata, “Ingatkah engkau ketika suamimu datang dalam keadaan lapar dan memintamu untuk menyediakan makanan?”
Ternyata, kejadian itu terjadi di malam berikutnya. Istri sahabat itu hanya menyediakan sepotong roti yang berisi daging dan olesan mentega. Sesaat sebelum melahapnya, terdengar bunyi ketukan pintu. Sahabat itu mendapati seorang musafir kelaparan yang meminta sedikit makanan kepadanya. Hatinya kembali tersentuh dan memberinya sedekah berupa setengah potong roti yang hendak ia makan.
Allah menunjukkan rahmat-Nya dan memperlihatkan balasan pahala yang berlipat ganda dalam sakaratul mautnya. “Seandainya semuanya,” sahabat itu menyesal untuk yang terakhir kalinya, sebab bila ia dapat menahan laparnya semalam saja, ia pasti akan mendapatkan ganjaran yang lebih mulia lagi.
Mendengar semua hikmah itu langsung dari mulut Rasulullah, sirna sudah semua kesedihan yang membebani hati sang istri. Ia tak lagi risau terhadap nasib suaminya di akhirat nanti, sebab Allah telah merahmatinya dengan balasan terbaik bagi setiap hamba-Nya yang bertakwa—surga yang kekal abadi di dalamnya.
Sesungguhnya, Allah telah berfirman dalam surat Al-Isra ayat 7, “Jika kau berbuat baik (berarti) kau berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kau berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri.”
Wallahu’alam bishawab.