Muslimahdaily - Kisah Maryam binti Imran bukanlah sekadar lembaran sejarah agama, melainkan sebuah oase keteladanan yang menyejukkan di tengah gurun modernitas yang kering akan nilai-nilai luhur. Namanya abadi dalam kitab suci, bukan karena kekayaan, kekuasaan, atau keturunan ningrat, melainkan karena kesucian, ketaatan, dan keajaiban yang menyertainya. Di zaman yang serba instan dan relasi yang seringkali dangkal ini, menelisik kisah Maryam memberikan kita hikmah yang mendalam, terutama tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan menjaga kehormatannya tanpa perlu terikat dalam relasi yang belum halal, atau yang sering kita sebut dengan "pacaran".

Maryam tumbuh dalam lingkungan keluarga yang saleh. Ayahnya, Imran, adalah sosok yang dihormati, dan ibunya, Hannah, adalah seorang wanita yang penuh dedikasi kepada Allah. Sejak kecil, Maryam didedikasikan untuk beribadah di Baitul Maqdis. Ia tumbuh menjadi seorang wanita yang zuhud, tekun beribadah, dan menjaga diri dari segala hal yang dapat menodai kesuciannya. Kehidupannya terisolasi dari hiruk pikuk dunia luar, fokus sepenuhnya pada kedekatan dengan Sang Pencipta.

Keajaiban dalam hidup Maryam bermula ketika malaikat Jibril datang menyampaikan kabar gembira tentang seorang putra yang akan dilahirkannya tanpa sentuhan seorang pria. Sebuah ujian berat sekaligus kehormatan agung diberikan kepadanya. Bagaimana mungkin seorang perawan bisa mengandung? Pertanyaan ini tentu saja menimbulkan kegelisahan dan cibiran dari masyarakat sekitarnya. Namun, Maryam dengan penuh kepasrahan menerima takdir Allah. Ia percaya bahwa segala sesuatu mungkin terjadi atas kehendak-Nya.

Kelahiran Isa Alaihissalam menjadi bukti nyata kekuasaan Allah. Maryam, seorang wanita suci tanpa suami, melahirkan seorang nabi besar. Kisahnya menjadi pengingat abadi bahwa kemuliaan seorang wanita tidak ditentukan oleh status pernikahan atau keberadaan seorang "gandengan". Kehormatan dan derajatnya di sisi Allah justru terletak pada ketakwaannya, kesucian hatinya, dan ketaatannya pada perintah-Nya.

Lalu, bagaimana kisah Maryam ini relevan dengan fenomena pacaran di zaman sekarang? Di era media sosial yang penuh dengan idealisasi hubungan romantis, seringkali kita merasa "kurang" jika belum memiliki seorang kekasih. Pacaran dianggap sebagai sebuah keharusan, sebuah tiket untuk diterima dan diakui. Padahal, kisah Maryam mengajarkan kita bahwa kesendirian dalam ketaatan jauh lebih mulia daripada kebersamaan yang tidak diridhai-Nya.

Pacaran di zaman sekarang seringkali diwarnai dengan berbagai pelanggaran batasan-batasan agama. Interaksi yang berlebihan, sentuhan fisik yang tidak halal, hingga mengumbar kemesraan di depan publik seolah menjadi hal yang lumrah. Padahal, semua itu adalah pintu-pintu menuju dosa yang menjauhkan kita dari keberkahan dan ridha Allah.

Kisah Maryam menampar realitas ini. Ia adalah contoh nyata seorang wanita yang mampu menjaga izzahnya (kemuliaannya) tanpa perlu mencari validasi dari seorang pria sebelum ikatan pernikahan yang sah. Kekuatannya terletak pada hubungannya yang kokoh dengan Allah, bukan pada keberadaan seorang "pacar".

Hikmah lain yang bisa kita petik adalah tentang kesabaran dan kepercayaan kepada Allah dalam urusan jodoh. Maryam tidak pernah mencari-cari seorang pendamping hidup. Ia fokus pada ibadahnya dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Dan Allah, dengan segala kemuliaan-Nya, memberikan Maryam sebuah kehormatan yang tak terhingga.

Para pemuda dan pemudi muslim zaman sekarang perlu merenungkan kisah ini. Jangan biarkan tekanan sosial dan idealisasi hubungan yang semu di media sosial membutakan mata hati kita. Jodoh adalah rahasia Allah. Tugas kita adalah memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada-Nya, dan menjaga kesucian diri. Percayalah, Allah akan memberikan yang terbaik di waktu yang tepat dan dengan cara yang indah.

Kisah Maryam binti Imran adalah lentera yang menerangi jalan bagi setiap muslimah untuk menjaga kehormatannya. Ia adalah bukti bahwa kemuliaan seorang wanita tidak terletak pada status "punya pacar" atau tidak, melainkan pada kualitas imannya dan sejauh mana ia menjaga diri dari segala yang dilarang oleh Allah. Di tengah arus pacaran yang semakin permisif, kisah Maryam adalah pengingat yang menyejukkan: kesucian tanpa "gandengan" justru mengantarkan pada kemuliaan yang abadi.